Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Menggugat Wacana Redenominasi Rupiah di Tengah Pandemi

Oleh : WIRDATUL AINI

PortalNawacita – Redenominasi rupiah mencuat di tengah pandemi Covid-19. Namun, sebagai catatan, kestabilan ekonomi menjadi prasyarat dasar pelaksanaan kebijakan tersebut.

Rencana redenominasi rupiah kembali mengemuka. Di tengah penanganan pandemi Covid-19, pada 29 Juni 2020, Kementerian Keuangan mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (redenominasi) masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024.

Usulan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Berdasarkan peraturan tersebut, urgensi RUU redenominasi ini antara lain untuk efisiensi perekonomian, menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN.

Redenominasi dapat diartikan sebagai penyederhanaan dan penyetaraan nilai rupiah. Dalam kajian moneter, ide ini sebenarnya merupakan hal yang wajar. Ini sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional menghadapi integrasi perekonomian regional.

Akan tetapi, usulan redenominasi di tengah pandemi Covid-19 menuai polemik. Menurut pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, kebijakan ini perlu ditinjau kembali urgensinya.

Menurut dia, negara harus lebih bijaksana dalam menetapkan kebijakan yang bersifat fundamental bagi perekonomian. Perubahan mendasar pada struktur ekonomi makro dapat memberi efek berganda, terlebih ketika ekonomi sedang berada dalam tekanan seperti situasi pandemi.

VP Economist PT Bank Permata Josua Pardede pun memiliki pendapat serupa. Butuh waktu untuk melakukan redenominasi rupiah. Salah satunya ialah sosialisasi kepada masyarakat. Namun, dalam waktu 1 hingga 2 tahun ke depan, ekonomi masih diliputi ketidakpastian yang tinggi karena masih fokus penanganan Covid-19.

Sementara itu, Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee berpendapat bahwa kebijakan redenominasi di tengah pandemi dapat menimbulkan kesalahpahaman dari sisi psikologi masyarakat. Kegagalan redenominasi 1965 dikhawatirkan dapat terulang kembali.

Mencermati reaksi yang muncul, gugatan wacana  redenominasi setidaknya berdasarkan dua hal mendasar yang disorot, ketidakpastian ekonomi, dan trauma redenomisasi pada masa lampau. Aspek pertama lebih melihat pada reaksi yang mencerminkan spekulasi masyarakat dan pasar mengenai ketidakpastian konsekuensi yang mungkin terjadi jika redenominasi diterapkan.

Saat ini, Indonesia memasuki kondisi ekonomi yang sulit dengan tantangan berat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2020 tercatat hanya sebesar 2,97 persen (yoy). Pertumbuhan ini turun dari kuartal IV-2019 yang mencapai 4,97 persen.

Di sisi lain, Survei Konsumen BI juga menunjukkan bahwa keyakinan konsumen masih dalam level pesimis (di bawah 100). Pada Juni 2020, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 83,8 dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) sebesar 45,8.

Selain kekhawatiran mengenai ketidakpastian ekonomi, publik juga mengingat trauma redenominasi yang berakhir dengan krisis ekonomi. Pada masa lalu, rencana redenominasi rupiah sebelumnya terpaksa harus berhenti di tengah jalan karena kondisi ekonomi dan politik.

Trauma

Berdasarkan sejarah moneter Bank Indonesia, redenominasi pertama kali terjadi di Indonesia pada 1965. Keputusan tersebut diambil karena tingginya beban pembiayaan proyek politik dan dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Provinsi Irian Barat (saat ini Papua). Melalui Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965, rupiah disederhanakan dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Sejak 13 Desember 1965, uang rupiah baru disahkan sebagai alat pembayaran sah berlaku. Namun, kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi. Redenominasi pada 1965 tidak berjalan mulus karena dilaksanakan pada saat Indonesia sedang menghadapi hiperinflasi. Bahkan, redenominasi harus berakhir dengan krisis ekonomi pada 1966.

Rencana redenominasi rupiah kembali digaungkan saat ini karena rupiah menjadi salah satu mata uang dengan nominal terbesar di dunia. Besarnya nilai nominal dari suatu mata uang mencerminkan bahwa suatu negara pada masa lalu menghadapi inflasi tinggi atau mengalami kondisi fundamental ekonomi yang buruk.

Tingginya inflasi menyebabkan nilai mata uang melemah. Kurs rupiah terhadap dollar AS terdepresiasi. Berdasarkan data Bank Dunia, kurs pada 1967 sebesar Rp 149 per dollar AS. Dalam momentum pelemahan ekonomi berikutnya, kurs juga terdepresiasi pada 1998. Saat itu kurs terdepresiasi menjadi Rp 10.013 per dollar AS. Saat ini fenomena pelemahan juga dirasakan Indonesia. Kurs melemah menjadi Rp 14.147 per dollar AS pada 2019.

Trauma redenominasi juga muncul dari sisi psikologi masyarakat yang tidak memahami utuh defisini redenominasi. Kebijakan redenominasi berbeda dengan sanering. Kesalahpahaman pengertian dapat menyebabkan kepanikan dan kekacauan ekonomi. Sanering memotong nilai uang dengan tujuan mengurangi daya beli masyarakat dengan menurunkan jumlah uang beredar.

Sementara redenominasi menyederhanakan pecahan mata uang dengan mengurangi digit nol tanpa mengurangi nilai mata uang. Misalnya Rp 1.000 menjadi Rp 1. Redenominasi bertujuan mempermudah transaksi keuangan, meningkatkan kredibilitas rupiah, dan mendorong persepsi positif terhadap mata uang asing.

Besarnya pecahan pada mata uang membuat praktik ekonomi menjadi tidak efisien. Kapitalisasi pasar saham, dana pihak ketiga perbankan, dan APBN menjadi salah satu contoh banyaknya penggunaan angka 0. Padahal, nominal kecil di bawah Rp 100 sudah jarang terpakai dalam keseharian.

Belum siap

Pelaksanaan kebijakan redenominasi bukanlah suatu hal yang mudah. Kondisi ekonomi suatu negara yang stabil merupakan prasyarakat dalam melakukan redenominasi. Perencanaan yang matang dan waktu yang panjang dibutuhkan dalam pelaksanaan redenominasi.

Bank Indonesia sudah merencanakan redenominasi sejak 2009. Bahkan, sudah melakukan kajian tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah. Menurut kajian tersebut, setidaknya proses redenominasi memakan waktu hingga satu dekade.

Selanjutnya, pada 2011 tim redenominasi juga sempat dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. RUU redenominasi diusulkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2013 dan pada 2017. Namun, rencana tersebut tidak dilanjutkan.

Siaran pers Bank Indonesia menunjukkan bahwa redenominasi efektif diterapkan ketika kondisi ekonomi stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat. Karena itu, Bank Indonesia dan pemerintah saat itu berencana melakukan redenominasi rupiah dilatarbelakangi modal kondisi perekonomian yang baik.

Berdasarkan kajian, redenominasi biasa dilakukan saat ekspektasi inflasi bergerak rendah dan stabil, stabilitas ekonomi terjaga, adanya jaminan stabilitas harga, dan kesiapan masyarakat. Indonesia dapat memetik pelajaran dari Turki dan Brasil yang berhasil melakukan redenominasi mata uangnya.

Keberhasilan redenominasi lira di Turki pada 2005 dengan membuang enam angka 0 diawali dengan reformasi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Kemal Dervis pada 2001. Inflasi berhasil diturunkan menjadi 1 digit sebesar 8,5 persen pada 2004 setelah lebih dari 34 tahun inflasi tinggi dan merevitalisasi program privatisasi meskipun dengan perdebatan politik yang sengit. Turki membutuhkan waktu hingga lima tahun untuk melaksanakan kebijakan redenominasi.

Di luar Turki, jalan berliku harus dilalui Brasil yang berkali-kali mengalami kegagalan dalam redominasi pada 1986, 1989, dan 1993. Ini terjadi karena Brasil mengalami hiperinflasi di atas 50 persen dan rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah akibat konflik politik. Brasil akhirnya baru berhasil melakukan redenominasi cruzeiro real menjadi real pada 1 Juli 2004.

Kegagalan redenominasi rupiah pada 1965 dan jalan berliku yang ditempuh Brasil menjadi pelajaran bahwa kondisi perekonomian stabil menjadi penentu dalam keberhasilan redenominasi. Berkaca dari pengalaman, usulan redenominasi saat ini dapat dikatakan belum tepat mengingat tingginya kasus Covid-19 yang berdampak pada kondisi perekonomian.

Kondisi perekonomian Indonesia saat ini berada di ambang resesi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2020 hanya sebesar 2,97 persen (yoy) dan diperkirakan negatif 4,3 persen pada kuartal II-2020. Jika pada kuartal III kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi, secara teknis Indonesia masuk ke dalam resesi.

Rencana redenominasi di tengah pandemi dapat memicu inflasi yang tinggi. Implementasi kebijakan redenominasi pada waktu yang tidak tepat justru akan menimbulkan dampak negatif. Karena itu, redenominasi sebaiknya dilakukan saat ekonomi sedang tumbuh tinggi dan stabil.

Jalan panjang

Saat ini, rencana pelaksanaan redenominasi kembali harus melewati kajian mendalam. Keberadaan pandemi Covid-19 membuat pembahasan RUU redenominasi kembali ditunda. Fokus penanganan Covid-19 merupakan jalan terbaik memulihkan perekonomian.

Pelaksanaan redenominasi yang dipaksakan akan memperdalam jurang kemiskinan dan ketimpangan. Pasalnya, eksekusi redenominasi saat perekonomian tidak mendukung akan memicu peningkatan inflasi, penurunan daya beli, dan peningkatan angka mekemiskinan. Berdasarkan data BPS, persentase penduduk miskin pada Maret 2020 naik menjadi 9,78 persen.

Selain kekhawatiran mengenai ketidakpastian ekonomi, publik juga mengingat trauma redenominasi yang berakhir dengan krisis ekonomi.

Hal yang perlu diwaspadai saat redenominasi ialah munculnya bias psikologis yang disebut ilusi uang. Orang akan menganggap harga barang menjadi lebih murah karena menghilangkan nol dari sebelumnya. Selain itu, harga menjadi terasa lebih ringan ketika terjadi kenaikan, padahal kenaikan harga tersebut sebenarnya tinggi.

Konsumen menjadi kurang memperhatikan penskalaan nilai nominal rupiah lama ke yang baru. Peningkatan kesediaan konsumen untuk membayar mendorong perilaku konsumsi yang lebih besar. Keadaan tersebut akan dimanfaatkan produsen dengan menaikkan harga hingga batas toleransi, seperti pembulatan harga ke atas secara berlebihan.

Risiko tersebut dapat diantisipasi dengan adanya sosialisasi dan edukasi masif ke masyarakat. Sosialisasi dan edukasi ini penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, menghindari ancaman ilusi uang, dan mencegah kepanikan masyarakat karena kesalahpahaman nilai uang. Tahap ini menjadi tahap awal dalam pelaksanaan redenominasi dan diperkirakan dapat berlangsung selama 2 tahun.

Melihat risiko-risiko di atas, pelaksanaan redenominasi tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Perlu diskusi mendalam terkait persiapan regulasi, sosialisasi, penyesuaian teknologi, dan biaya operasional. Selain itu, perlu kajian lebih lanjut dari pengalaman negara yang gagal melaksanakan kebijakan ini.

Kesalahan dalam perencanaan akan berakhir dalam kondisi ekonomi yang lebih buruk. Waktu yang panjang dibutuhkan untuk mencapai tujuan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga. Terlebih, dampak ekonomi pandemi Covid-19 berpotensi menambah panjang rangkaian proses eksekusi kebijakan. [*]

LITBANG KOMPAS