Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Kekerasan Menyasar Anak di Tengah Pandemi Covid-19

PortalNawacita – Menyusul kebijakan pemerintah membebaskan puluhan ribu narapidana (napi), keresahan publik pun meningkat. Masalah Covid-19 belum lagi teratasi, kini beban batin masyarakat bertambah akibat ancaman kemungkinan kejahatan yang ditebar oleh (sebagian) mantan napi. Yang utama, warga mengkhawatirkan semakin maraknya kejahatan properti, yaitu kejahatan yang ditujukan untuk memperoleh harta benda bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari para mantan napi tersebut. Pencurian, begal, rampok, itulah macam kejahatannya.

Pada saat yang sama, terkesan kuat bahwa masyarakat alpa akan jenis perbuatan pidana lainnya yang seolah menemukan momentumnya di masa pandemik ini. Perbuatan tersebut khususnya adalah menyasar pada anak-anak selaku korbannya.

Pertama, sejak virus corona mewabah, sekolah-sekolah pun diliburkan. Sebagai gantinya, para siswa didorong untuk belajar di rumah. Orangtua pun sibuk untuk merevitalisasi peran mereka, dari orangtua biologis ke orangtua efektif, termasuk sebagai guru mendampingi anak-anak belajar di rumah.

Perubahan tuntutan hidup sedemikian ini tidak terlalu siap dijalani oleh banyak orangtua. Terbukti, satu demi satu muncul informasi berantai tentang keluhan anak-anak akibat berhadapan dengan “guru baru” mereka. Guru alias orangtua ini ternyata sering lebih galak dibandingkan guru di sekolah. Suasana “kelas” berubah bagaikan dunia monster.

Suasana belajar yang mengintimidasi anak semacam demikian boleh jadi gambaran nyata dari kekerasan psikologis terhadap anak. Orangtua yang frustrasi kemudian meluapkannya ke dalam perilaku kekerasan. Sumber frustrasi bisa dari kesulitan mengajari anak atau dari kesulitan ekonomi. Perilaku mengintimidasi secara psikologis sedemikian itu sebetulnya merupakan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak. Dan bila berlangsung berkelanjutan, kita patut waspada bahwa dampaknya terhadap anak pun setara atau bahkan dapat lebih berat dibandingkan kekerasan fisik.

Orangtua memang perlu bersabar menghadapi anak-anak. Namun agar imbauan ini tidak menjadi klise, saya merasa perlu juga mengingatkan agar para guru di sekolah tidak memberikan beban belajar kepada anak di rumah terlalu berat, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Di masa swakarantina berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat ini, seyogianya dapat memperkaya kesempatan anak untuk lebih banyak belajar tentang kehidupan. Kegiatan semacam memproduksi video tentang anak-anak yang belajar memasak, bercocok tanam hidroponik, membuat animasi, dan aneka kegiatan non-akademik lainnya, tampaknya lebih bermanfaat dan potensial menghadirkan keceriaan di dalam rumah.

Bila boleh berbagi saran, alangkah indahnya bila donasi bagi keluarga terdampak Covid-19 tidak hanya berisi kebutuhan pokok. Buku komik, mainan sederhana, pot dan bibit tanaman, atau lainnya yang ditujukan untuk menyemarakkan aktivitas di rumah patut dipertimbangkan sebagai bingkisan pengisi waktu (belajar!) yang menyenangkan sekaligus membuat anak-anak kreatif.

Kejahatan Daring
Kedua, selama berada di rumah untuk jangka waktu lama, anak-anak mungkin akan mengakses internet lebih lama. Apalagi akhir-akhir ini bermunculan begitu banyak aplikasi komunikasi virtual yang juga digunakan oleh sekolah-sekolah untuk keperluan kegiatan kelompok. Yang dikhawatirkan akibat jam internet yang melonjak tajam ini adalah para predator seksual diam-diam mengintai anak-anak secara online (dalam jaringan/daring).

Saya pernah menulis tentang pelaku kejahatan seksual berbasis daring yang memangsa anak-anak. Dengan gampangnya mereka menyamar sebagai teman sebaya yang menyenangkan anak-anak. Setelah berhasil membangun pertemanan virtual dengan anak, para predator buas itu pun langsung melakukan aneka bentuk perundungan seksual. Termasuk, yang sudah pernah terjadi di Tanah Air, perkosaan virtual di mana anak merusak organ vitalnya sendiri.

Orangtua pun dituntut untuk lebih waspada dan tidak lalai mengawasi perilaku berselancar anak-anak di dunia maya. Anak-anak patut diingatkan, bahwa dunia yang satu itu sama atau bahkan dapat lebih berbahaya dibanding dunia nyata. Adalah penting bagi anak untuk tidak membuka forum pertemanan baru yang bisa dimasuki oleh orang asing.

Pada saat yang sama, Polri, khususnya unit kejahatan siber–patut lebih gencar menyalakan radar mereka dengan jangkauan lebih luas dan lebih rapat lagi. Inilah masa yang tepat untuk mempraktikkan materi-materi workshop penanganan kejahatan daring yang pernah secara berkesinambungan diikuti oleh Polri (dan juga LPAI) di sekian banyak negara.

Bahaya Rokok
Ketiga, masa swakarantina–sulit dihindari–mendatangkan tantangan tersendiri bagi stabilitas emosi orang banyak. Dalam situasi yang melelahkan ini, para perokok hampir dapat dipastikan akan lari ke rokok. Mereka yang awalnya bukan perokok pun bisa saja mulai mencicipi rokok sebagai penawar atas kejenuhan.

Prasangka saya cukup beralasan. Lembaga riset Piper Sandler, misalnya, menemukan bahwa konsumsi rokok (racun!) cenderung meningkat di tengah situasi yang stressful. Di Indonesia, stressor itu tidak hanya datang dari ancaman penyakit berskala luas, namun juga dari dampak sosial yang ditimbulkan Covid-19. Apalagi kalau bukan beban ekonomi rumah tangga.

Apa pun alasannya, para perokok harus sadar bahwa perilaku merokok memasukkan mereka ke dalam kelompok orang yang paling rentan terjangkit Covid-19 dan dapat membawa kematian. Begitu mereka merokok di sekitar anak, disadari ataupun tidak, anak-anak berisiko mengalami penderitaan serupa. Bahaya yang mereka sebarkan juga berupa sampah puntung rokok. Para ilmuwan menemukan, virus corona dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sampah puntung rokok, dengan jejak cairan mulut si perokok, merupakan media penyebarluasan virus berbahaya itu.

Telah lama menjadi pendirian LPAI bahwa orang yang menyuruh anak merokok, membeli rokok, memproduksi rokok, dan semacamnya, sepatutnya diperkarakan secara hukum mengacu UU Perlindungan Anak. Pendirian ini didasarkan pada tafsiran bahwa rokok termasuk ke dalam narkoba dan zat adiktif lainnya. Bersama sekian banyak organisasi lainnya, sudah sejak dulu LPAI mendorong agar negara mengadopsi tafsiran dan sikap yang sama. Ini berlaku tidak hanya terhadap rokok bakar, namun juga rokok elektronik, tembakau kunyah, dan sejenisnya.

Bahasan tentang rokok ini patut menjadi pemahaman bersama, bahwa jauh hari sebelum dunia mengenal pandemik Covid-19, masyarakat dunia telah lebih dulu mengenal dan terjangkit pandemik rokok. Daya tular pandemik ini juga cukup masif. Efek memiskinkannya tak kepalang tanggung. Dampak mematikannya pun luar biasa.

Atas dasar itulah, pemerintah sepatutnya memanfaatkan pandemik Covid-19 ini untuk meluncurkan kampanye dan program-program antirokok jauh lebih serius. Penyelamatan kemanusiaan harus didahulukan dibanding penyelamatan ekonomi. Tak perlu lelah berbicara tentang generasi emas dan bonus demografi bila kita tidak berketetapan hati melawan rokok. Sungguh menyakitkan hati, apabila kelak wabah global Covid-19 dinyatakan sudah teratasi, sebagian orang masih merayakannya penuh suka cita dengan cara merokok beramai-ramai.

Inilah aneka kekerasan yang tengah menyasar anak-anak kita saat ini. Ini adalah perbuatan pidana terhadap anak yang patut diantisipasi secara sangat serius oleh kita semua, di tengah Covid 19 yang terus merebak hampir ke seluruh pelosok negeri. (beritasatu)