Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

ilustrasi

Lebaran Tanpa Mudik

PortalNawacita – Tidak ada ritual mudik Lebaran tahun ini terutama bagi warga Jabodetabek yang kini menjadi episentrum Covid-19. Pemerintah telah memutuskan larangan mudik. Kebijakan untuk menghindari transmisi lokal Covid-19 ini kita dukung penuh. Lagi-lagi, masukan kita adalah jangan sampai larangan ini sekadar aturan tanpa implementasi tegas di lapangan.

Kita tahu potensi penularan akan sangat besar bila mudik Idulfitri 1441 H dijalankan. Survei Kementerian Perhubungan menyebutkan terdapat 24% warga yang bersikeras menyatakan bakal mudik dalam kondisi pandemi saat ini. Dengan mengacu pada angka pemudik 2019, diperkirakan bakal ada sekitar 5 juta orang mudik bila tak ada larangan.

Dari angka itu, tidak ada yang tahu pasti ada berapa pemudik yang membawa serta virus untuk disebarkan di kampung halaman, atau sebaliknya terjangkit di kampung dan membawanya kembali ke kota.

Larangan dari pemerintah itu muncul dalam pengaturan transportasi yakni Peraturan Menteri Perhubungan No 25/2020. Peraturan tersebut bertajuk Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.

Pengendalian berupa larangan penggunaan sarana transportasi umum dan pribadi tersebut berlaku efektif 24 April hingga 31 Mei 2020, dan dapat diperpanjang. Memang aturan ini tidak berlaku untuk semua daerah di Indonesia. Pasal 2 beleid ini menyebutkan larangan hanya berlaku untuk sarana transportasi yang keluar atau masuk wilayah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), zona merah Covid-19, dan aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah PSBB.

Bahkan dalam aturan tersebut juga mengecualikan sarana transportasi yang keluar masuk antardaerah yang masih dalam satu wilayah aglomerasi. Meski diatur demikian, sebaiknya masyarakat di semua wilayah Indonesia tidak perlu mudik untuk tahun ini. Mudik yang lebih bernuansa sebagai sebuah ritual tahunan tidak harus dijalankan. Dengan semakin majunya teknologi, silaturahmi bisa dijalin melalui alat komunikasi.

Kini yang menjadi perhatian adalah bagaimana penerapannya di lapangan agar aturan ini efektif dalam menanggulangi penularan Covid-19. Kita tahu, disiplin tinggi belum menjadi budaya di dalam kehidupan sosial masyarakat. Aturan dibuat untuk dilanggar merupakan ungkapan yang tetap afdol sampai sekarang. Karena itu, penerapannya di lapangan perlu memperhatikan beberapa hal.

Pertama, petugas pengawas utamanya transportasi darat, yakni Dinas Perhubungan, Polri, dibantu TNI, benar-benar siap siaga serta tegas. Kesiapsiagaan meliputi kontinuitas penjagaan di titik pengecekan yang sudah ditentukan. Jangan meniru model pengawasan seperti dalam pelaksanaan PSBB di kawasan Jabodetabek. Pengecekan dan penegakan aturan di perbatasan Jakarta dengan Bodetabek ternyata tidak semasif yang dibayangkan. Aparat tidak secara kontinu berjaga di pintu keluar-masuk utama antarwilayah. Bila model seperti ini yang terjadi, jangan harap larangan mudik terimplementasi.

Ketegasan aparat juga dibutuhkan terkait psikologi massa. Aparat tidak seharusnya ragu untuk menegakkan aturan kepada kelompok yang berjumlah besar atau mengatasnamakan keyakinan sebagai alasan untuk melanggar. Sudah terbukti dalam beberapa temuan klaster kasus Covid-19, acara atau perkumpulan komunitas keagamaan justru menjadi wahana penularan.

Kedua, pengawasan jangan hanya dilakukan di tempat pengecekan yang sudah ditentukan yakni pintu utama keluar-masuk wilayah PSBB maupun zona merah Covid. “Jalur tikus” yang selama ini menjadi alternatif lalu lintas antarwilayah perlu juga diawasi, terutama untuk kendaraan pribadi dan sepeda motor. Pada arus mudik 2019 tercatat 1,1 juta pengguna sepeda motor. Angka itu sudah turun dari tahun sebelumnya, yang mencapai 1,3 juta, karena penyelenggaraan angkutan mudik gratis.

Angkutan umum jalur darat relatif sangat mudah diawasi. Bus antarkota antarprovinsi sudah terdeteksi sejak dari pangkalan atau terminal. Namun, terkait kedisiplinan masyarakat seperti disebutkan tadi, mobil pribadi dan sepeda motor akan lebih sulit diawasi, dari mana berangkat dan jalur mana yang mereka lalui.

Dalam hal pengawasan “jalur tikus”, tidak ada alasan kita kekurangan personel. Bangsa ini sudah rutin menyelenggarakan ritual mudik. Tiap tahun operasi pengamanan yang biasanya bersandi Operasi Ketupat melibatkan ribuan personel Polri-TNI mengamankan mudik Lebaran.

Ketiga, sosialisasi aturan ini perlu gencar dilakukan dengan berbagai cara pendekatan. Salah satunya adalah memberikan keterangan yang transparan dan detail untuk semua golongan masyarakat. Sebagai contoh, jangan sampai masyarakat tidak tahu apa yang dimaksud zona merah atau daerah mana saja yang masuk PSBB dan aglomerasinya. Contoh lain adalah bagaimana aturan untuk mereka yang bertujuan pulang kampung, bukan mudik. Hal yang tampak sepele seperti ini bakal jadi kendala aturan tidak efektif bila tidak diantisipasi. (beritasatu)