Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Idulfitri Sebagai Instrumen Kritik Sosial

Oleh : Achmad Fachrudin*)

PortalNawacita – Secara leksikal, Idul Fitri bermakna ‘kembali kepada kesucian’. Kesucian tersebut diperoleh melalui pelaksanaan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan ketakwaan. Sebegitu jauh, Idul Fitri belum mampu sepenuhnya mewujudkan kesalehan ritual dan sosial serta serta mampu mengatasi problem krusial dan aktual umat, masyarakat dan bangsa secara efektif. Karenanya, Idul Fitri  perlu direkonstruksi dan direvitalisasi menjadi instrumen Kritik Sosial yang radikal.

Secara empirik, sedikitnya ada dua tipologi besar umat terkait dengan kesalehan ritual dan sosial dalam relasinya dengan Idul Fitri. Pertama, mereka yang saleh secara ritual dan juga soleh secara sosial.  Kedua,  mereka yang soleh secara ritual namun tidak soleh secara sosial. Ketiga, kelompok yang tidak soleh secara ritual dan sekaligus sosial. Varian ketiga tampaknya paling banyak.

Ironisnya, bangsa ini sejak lama cendrung dipimpin dan dikuasi oleh kelompok minoritas elit dengan tipikal dan karakter ketiga. Akibatnya seperti terlihat sekarang, cita-cita sosial umat Islam mewujudkan ‘baldatun toyyibatun warabbun ghafur’ negara sejahtera (dan adil) dalam ridha Allah SWT masih jauh dari terwujud. Jika sudah terwujud, tentu Indonesia sudah lama masuk dalam kategori negara yang benar-benar maju. 

Pengendalian Diri

Berbagai sampel dapat dideretkan panjang untuk mencermati betapa umat masih belum sepenuhnya mampu mewujudkan spirit dan etika sosial Idul Fitri secara paripurna. Terutama ditunjukkan dari prilaku kurang mampu mengendalikan dan menahan diri dari hawa nafsu kebinatangan (hayawiniyah) dan syaitoniyah (setan dan iblis) dalam memenuhi hajat hidupnya.

Misalnya ditunjukkan dengan prilaku jor-joran dalam menghabiskan dana atau anggaran untuk membeli pakaian baru, makanan,  rekreasi atau hiburan, hingga mudik atau pulang kampung (pulkam). Bahkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan tertier tersebut tidak jarang harus menguras tabungan, menjual perhiasan emas atau barang berharga lain yang dimilikinya, atau menggadaikannya.

Kecendrungan kekurangmampuan mengendalikan diri sudah lama tercermin saat berbuka puasa. Dengan cara menyerbu berbagai tempat penjualan makanan dan minuman untuk kepentingan dan kebutuhan buka puasa. Sehingga di berbagai sudut jalan, dan gang yang dijadikan lokasi menjual makanan disesaki para pembeli jelang bedug magrib.

Apalagi jelang Idul Fitri. Pasar modern, terutama tradisional tumpah ruah dengan umat untuk membeli berbagai kebutuhan Idul Fitri. Tanpa mempedulikan ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Seperti menggunakan masker, menjaga jarak (physical distancing), menggunakan  hand sanitizer, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan menjelang buka puasa dan Idul Fitri sering dijadikan dalih untuk melanggar PSBB.

Sebaliknya, meningkatnya konsumsi berbagai barang kebutuhan pokok keluarga muslim jelang Idul Fitri dimanfaatkan oleh para pedagang dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dalam situasi ini secara ekonomi berlaku hukum suply and demand. Yakni: ketika permintaan meningkat tajam otomatis harga barang meningkat. Namun tak jarang situasi ini dimanfaatkan oleh pedagang dengan aji mumpung dan licik.

Aktivitas pemenuhan sandang dan pangan sejauh dilakukan dalam batas-batas rasional dan kewajaran, dan dilandasi dengan penerapan pengelolaan keuangan yang matang dan cermat bisa dimengerti. Masalahnya banyak diantaranya dilakukan di luar batas-batas kemampuan secara ekonomi. Akibatnya paska Idul Fitri, banyak keluarga muslim mengalami krisi dan kebangkrutan secara ekonomi dan sosial.

Beruntung bagi yang masih memiliki saving (tabungan) atau barang berharga bisa dijual atau digadaikan. Bagaimana dengan yang sudah ludes untuk memenuhi kebutuan Idul Fitri? Yang ada tinggal kesulitan, dan penyesalan. Apalagi saat ini dalam situasi Covid-19, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja, atau jika berbisnis atau bergadang banyak mengalami kerugian. Padahal kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk anak bersekolah, masih banyak dan panjang.

Silaturahmi dan Saling Memaafkan

Problem serius lainnya adalah terletak pada kurangnya kemampuan sebagian umat dalam memaknai Idul Fitri dan silaturahmi. Aktivitas ini biasanya ditandai oleh saling maaf dan memaafkan secara ikhlas dan sejati (genuine) antara seseorang dengan lainnya dengan menghilangkan sikap merasa diri paling benar dan apalagi ada balas dendam.

Sejatinya silaturahmi dan saling memaafkan dilakukan kepada sesama umat muslim, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Bahkan untuk yang saling mengenal, bila pernah terjadi kesalahan secara tidak sengaja dan apalagi disengaja, diwajibkan untuk mengutarakan permintaan maaf secara lisan dan langsung kepada yang bersangkutan.

Meminta maaf satu orang dengan lainnya terlihat sederhana dan mudah dilakukan. Namun dalam praktiknya tidak semudah itu. Apalagi jika yang menjadi penyebab pergesekan atau konflik urusan perut dan politik. Terutama perebutan kursi di parlemen, jabatan di lingkungan birokrasi, organisasi kemasyarakatan pemuda, organisasi keagamaan, dan terutama di organisasi partai politik.  

Menghadapi situasi dan kondisi semacam ini. Bagi sebagian orang akan mampu melupakan dan saling memaafkan secara genuine. Namun bagi sebagian lagi tidak mudah melakukannya. Bahkan ada kalanya, perbedaan pendapat dan konflik atau politik balas dendam tersebut sengaja dipelihara secara turun menurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Sejumlah elit politik Indonesia ditengarai memiliki prilaku balas dendam. Bahkan sampai lawan politik sudah matipun, tidak mau menunjukkan sikap empatinya.

Pada sebagian kasus. Untuk menimbulkan kesan ke publik telah terjadi pencairan hubungan sosial, mereka yang pernah mengalami konflik melakukan  silaturahmi dan saling bermaafan dengan mengambil momentum Idul Fitri. Selain jumlahnya sedikit, genuinitasnya bisa dipersoalkan.  Buktinya  paska Idul Fitri, rivalitas politik tersebut kembali dihidupkan.  Hal ini berarti aktivitas silaturahmi dan saling memaafkan  pada Idul Fitri hanya sekadar lip service atau basa basi belaka.

Halal Bihalal

Gontok-gontokan di kalangan elit politik pernah terjadi paska kemerdekaan atau tepatnya 1948. Untuk mengatasi hal itu,  Presiden RI Soekarno memanggil tokoh NU KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk diajak berdiskusi dan mengatasinya.  Kemudian KH. Wahab mengusulkan agar digelar halal bihalal. Presiden Soekarno secara spontan setuju dengan usul tersebut. Melalui kegiatan keagamaan tersebut sesaat mampu meredam konflik di kalangan elit politik.

Namun tak lama kemudian, pergolakan elit politik kembali mamans. Sepanjang masa demokrasi terpimpin yang diterapkan oleh Soekarno di masa Orde Lama, turbulensi politik di kalangan elit politik acapkali bergejolak dan mengakibatkan kabinet/pemerintahan setiap saat jatuh bangun. Puncaknya Presiden Soekarno terkena tumbal politik yang diawali dengan meletusnya peristiwa G30S PKI dan terbitnya Supersemar.

Oleh generasi penerus, kegiatan halal bihalal ditradisikan hingga kini, dari mulai yang mengambil tempat di Istana Negara hingga di kawasan kumuh.  Sebegitu jauh dampaknya pada terbangunnya soliditas umat dan bangsa Indonesia, masih sedikit. Sementara perpecahan elit politik, acapkali terjadi. Bahkan mampu merontokkan kekuasaan sebagaimana terjadi pada presiden Soeharto atau presiden KH. Abdurahman Wahid dengan cara-cara ekstra konstitusional.

Di masa pemerintahan presiden Joko Widodo, halal bihalal di Istana Negara masih tetap dilaksanakan. Terkecuali pada Idul Fitri tahun 2020 karena kondisi masyarakat dan bangsa sedang dilanda pandemi Covid-19. Jikapun dilaksanakan, mungkin hanya dilakukan secara virtual. Sebegitu jauh makna dan dampaknya dalam membangun solidaritas dan soliditas bangsa khususnya di kalangan elit politik masih menjadi problem tersendiri.

Belakangan konflik elit politik makin terlihat menonjol dan acapkali terjadi. Terutama dibuktikan dengan terjadinya perbedaan kebijakan antara sejumlah elit politik nasional dengan elit politik  nasional lainnya, termasuk dengan elit politik lokal dalam penerapan PSBB. Ditambah lagi sikap membalelola sebagian masyarakat terhadap pengaturan protokol Covid-19, mengakibatkan upaya mengatasi pandemi penyakit ini berjalan tertatih-tatih.

Resiko yang harus dibayarpun mahal. Jumlah orang yang terpapar Covid-19  per 21 Mei 2020 mencapai angka psikologis yakni: terjadi penambahan 634 orang positif. Sehingga total pasien positif 20.796 orang. Sedangkan angka kesembuhan juga meningkat 219 orang. Dengan demikian ada 5.057 orang sembuh dari Corona. Sementara kasus meninggal bertambah 48 orang sehingga total menjadi 1.326 orang.

Penyebab dan Solusi

Kenapa ritual keagamaan Idul Fitri dan tradisi yang mengitarinya selama ini dilaksanakan kurang mampu menciptakan manusia Indonesia ‘setengah dewa’? Bahkan di kalangan elit politik, masih menonjol sifat dan sikap serta prilaku manusia yang penuh tamak, serakah, abuse of power, dan sebagainya.

Jawabannya secara umum karena belum  memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara integral dan komprehensif.  Seolah-olah ritual Idul Fitri berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan ibadah lain, terutama puasa dan zakat. Selain itu, karena pelatihan spiritual selama lebih kurang sebulan lamannya, belum cukup untuk memelahirkan muslim kaffah (sempurna), berkarakter, bersih, ikhlas, dan sebagainya.

Problem tersebut makin sulit diatasi karena dilakukan atau diwariskan secara turun temurun ke anak cucu, mantu, ponakan, kolega, konstituen, dan lain sebagainya. Sehingga seolah-olah tradisi dan kebiasaan buruk tersebut, menjadi suatu kebenaran yang harus diterima secara taken for granted. Padahal prilaku semacam itu secara diametral bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai puasa, zakat dan Fdul Fitri. 

Contoh kebiasaan buruk di kalangan umat secara umum adalah pergi ke mall atau pasar tradisional untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok atau mudik jelang Idul Fitri. Tanpa mengindahkan protokol kesehatan Covid-19. Sedangkan kebiasaan sebagian elit politik yang sampai saat ini sukar diberantas adalah prilaku dan praktik tamak, korup, sewenang-wenang, dan sebagainya.

Untuk mengatasi problem krusial ini, sudah waktunya  Idul Fitri dan berbagai aktivitas keagamaan dan sosial yang mengiringinya bukan hanya ditujukan untuk mewujudkan kesalehan ritual dan sosial, melainkan juga harus dijadikan sebagai instrumen Kritik Sosial dengan menyasar secara khusus terhadap individu atau kelompok-kelompok semacam disebutkan diatas.

Bahkan kritik pedas perlu dialamatkan terhadap umat yang ngotot melaksanakan shalat Idul Fitri di mesjid dan lapangan atau mudik. Padahal dipastikan kegiatan tersebut berada dalam red zone Covid-19. Begitupun dalam aktualisasinya, kritik harus dilakukan dengan tetap mengindahkan koridor hukum, peraturan perundangan, etika dan keadaban (civility). Serta dibarengi dengan pilihan akan metode atau treatment yang efektif.

Untuk memperkuat dalil penerapan Idul Fitri sebagai instrumen Kritik Sosial, tidak ada salahnya dengan mengadopsi khasanah Islam klasik. Misalnya yang berasal dari kaidah fiqih yang berbunyi: “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” (menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan”.  Dari aspek doktriner, kaidah fiqih yang dikenal di lingkungan NU tersebut terbilang sangat progressif dan radikal.

Agar efektif, diperlukan support dan pelibatan dari organisasi keagamaan Islam seperti: MUI dan pemerintah (umaro).  Sebab kedua institusi inilah  yang memiliki otoritas. Dengan MUI memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa keagamaan. Sedangkan umaro atau pemerintah mempunyai otoritas politik dan dalam penegakan hukum secara positif dan formalistik.[*]

*) Penulis: Pengajar Fakultas Dakwah Institut PTIQ Jakarta

akurat.co