Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Melinda Janki dalam sebuah pose

Melinda Janki dalam sebuah pose

Tulisan Melinda Janki Kembali Dimanfaatkan Kelompok Pendukung Kemerdekaan Papua Pertanyakan Pepera

portalnawacita.com – Sebuah narasi berbentuk jurnal yang ditulis oleh seorang pengacara dan ahli hukum internasional, Melinda Janki pada tahun 2010 lalu kembali disebarkan oleh akun media sosial yang mengarah pada pro kemerdekaan Papua dengan menyinggung keabsahan Pepera tahun 1969. Akun twitter bernama @Sedangktf tersebut sengaja mengangkat pernyataan Melinda Janki dalam kemasan meme yakni menyebut bahwa Pepera 1969 melanggar prosedur hukum internasional. Disebutkan bahwa hal tersebut merupakan aneksaksi ilegal yang tidak dapat disahkan oleh komunitas internasional karena merupakan pelanggaran kepercayaan suci di bawah piagam PBB. Karena itu, West Papua tidak bisa secara resmi menjadi bagian dari wilayah Indonesia tetapi merupakan wilayah tak berpemerintahan yang sedang diduduki.

Usut punya usut, makalah tersebut ternyata diterjemahkan oleh Victor Yeimo dan diringkas oleh KNPB. Disebutkan pula bahwa keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional. Kemerdekaan West Papua merupakan pengembalian kedaulatan rakyat Papua dan bukanlah pelanggaran integritas territorial Indonesia. Sebuah narasi yang kembali menyudutkan Indonesia melalui isu Pepera.

Melinda Janki diketahui merupakan bagian dari International Parliementarian for West Papua (IPWP) dan International Lawyer for West Papua (ILWP). Dirinya pernah menggelar seminar di London pada tahun 2011 lalu bersama dengan Benny Wenda dan Jennifer Robinson. Sebagian peserta seminar yang merupakan simpatisan separatism beranggapan bahwa, Pepera tidak sah dan perlu diulang karena tidak dilakukan sesuai standar internasional yakni, one man one vote. Sebuah upaya dari kelompok pro kemerdekaan Papua yang berupaya merongrong pemerintah Indonesia agar melepaskan wilayah Papua melalui sejumlah upaya ataupun propaganda.

Penjelasan Mengenai One Man One Vote yang Urung Dilaksanakan saat Pepera 1969

Untuk menjawab tuduhan dari seorang Melinda Janki yang kemudian kembali diteruskan oleh Victor Yeimo dan KNPB melalui media sosial. Sebuah tulisan yang mencerahkan sempat disampaikan tokoh muda Papua, sekaligus Ketua Melanesian Youth Diplomacy Forum, Steve Rick Elson Mara, S.H., M.Han atau lebih sering disapa Steve Mara. Dalam pernyataannya tersebut dirinya menjelaskan berkaitan dengan pelaksanaan one man one vote yang kemudian berubah saat pelaksanaan Pepera.  

Menurutnya, jika terdapat kekurangan dalam pelaksanaan suatu kegiatan demokrasi maka tiada pesta demokrasi yang tanpa kekurangan. Jika diperhatikan, di tulisan Steve Mara sebelumnya telah dicontohkan berbagai negara yang self-determinationnya tidak one-man one vote. Sebut saja Amerika sebagai negara demokrasi modern yang telah lebih dari dua ratus tahun hidup berbangsa dan bernegara.

Tentu pahitnya dinamika hidup kebangsaan mereka bisa jadi pelajaran berharga bagi kita. Negara yang dikenal sebagai demokrasi terbesar bahkan masih menggunakan sistem electoral college yang menyerahkan pemilunya hanya pada 538 orang saja. Apakah ratusan juta warga negara Amerika lainnya yang diwakili 538 orang tersebut merasa hak sipil dan politiknya dijajah?

Kemudian terkait hukum internasional, maka menarik untuk mengutip pendapat John Saltford dalam bukunya yang berjudul “The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962 – 1969” Buku ini dikutip juga oleh Gembala Socratez Yoman, namun Steve Mara merasa ragu apakah gembala tersebut memahami secara utuh posisi John Saltford dalam buku tersebut. Sebagai Contoh, dalam Bab Conclusion dari bukunya, John Saltford mengutip dan mendukung pendapat Mullerson bahwa “…there is no right to secession in international law…”. Terjemahan bebasnya, “…tidak ada hak untuk memisahkan diri dalam hukum internasional”.Bahkan John Saltford sendiri mengakui tidak ada hak memisahkan diri dalam hukum internasional.Saltford kemudian menjelaskan pentingnya membuktikan bahwa minoritas Papua dijajah oleh mayoritas Indonesia. Menjadi pertanyaan seorang Steve mara kemudian, apakah kita sebagai Bangsa Papua atau Melanesia diperlakukan berbeda, dijajah hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya kita oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakannya?

Sebagai anak muda, Steve Mara kemudian berpikir bahwa kita juga bisa mengkritik bahan bacaan yang ditulis oleh orang asing seperti John Saltford atau juga Melinda Janki. Kita harus memahami asumsi dibalik klaim yang disuguhkan para peneliti asing tersebut. Kita harus bertanya, apa asumsi dasar yang mereka gunakan? Apakah mereka benar-benar ingin membantu atau merunyamkan/ mempertajam permasalahan?

Kritikan yang disampaikan oleh Steve Mara adalah cara pandang John Saltford dalam bukunya justru terlalu menganggap Bangsa Papua sebagai bangsa inferior yang tidak mampu berpikir dan bertindak secara bebas. Bangsa Papua diposisikan sebagai objek dan bukan subjek, sebagai tawanan di Indonesia. Peneliti asing seperti John Saltford menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Memberikan resep jalan keluar atas segala permasalahan Bangsa Papua. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Melinda Janki, bahwa dengan segala gelar yang dimiliki lantas bertindak tak sesuai dengan fakta dengan mengabaikan kepentingan publik demi kepentingan kelompoknya bersama Benny Wenda yang jelas-jelas banyak melakukan kesalahan.

Kembali Merenungkan Posisi Papua

Steve Mara lantas mengajak generasi muda untuk bertanya. Siapa yang menjadi Tuan Tanah di Bumi Papua saat ini? Apakah militer? Siapa yang mengisi jabatan publik di Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota, Desa, Militer, Kepolisian, Menteri? Apakah tidak ada orang Papua? Kita harus renungkan dengan baik bahwa untuk sampai hingga otonomi daerah telah melalui perjalanan panjang. Di balik Otonomi daerah yang diterapkan di bumi Papua saat ini, ada upaya OAP untuk menjadi Tuan Tanah di Bumi Papua. Coba periksa nama-nama gubernur atau kepala daerah di Papua semenjak tahun 2000. Apakah mereka bukan OAP? Apakah generasi Papua sebelumnya adalah generasi buta huruf yang tidak memahami situasi bangsa Papua dan tidak bisa berpikir secara bebas seperti yang disampaikan oleh Melinda Janki.

Kemudian, masih terkait hukum internasional, International Court of Justice (Mahkamah Internasional) dalam perkara Burkina Faso melawan Mali menyatakan prinsip hukum internasional uti possidetis iuris, yakni bahwa batas wilayah negara yang baru merdeka mengikuti batas wilayah negara penjajahnya. Karena itulah sejarah Papua bukan ditarik dari tahun 1969, melainkan dari tahun 1945 yang memang telah menjadi bagian dari Indonesia. Pepera tahun 1969 adalah menguatkan keberadaan Papua dalam Indonesia dan menandakan kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Matahari terbit dari Timur. Steve Mara yakin suatu hari nanti putera-puteri Papua akan menduduki kursi pimpinan nasional yang tertinggi di Nusantara. Kiranya setiap insan Papua berkontribusi untuk membangun pemahaman yang utuh, tidak selektif dalam memaknai peristiwa penting seperti Pepera. Sehingga bangunan pemahaman tersebut kokoh karena dibangun di atas batu pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan pasir kekeliruan dan hasutan. Saya 100% Orang Papua, 100% Orang Indonesia.

Maka kepada Victor Yeimo beserta dengan KNPB yang memanfaatkan makalah dari Melinda Janki melalui unggahan berulang di media sosial. Bahwa apa yang telah diperbuatnya hanya akan memperkeruh masyarakat Papua, demi misinya sendiri yang jelas-jelas bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sudah jelas bahwa Pepera adalah sah, Papua bagian dari Indonesia. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi.

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)