Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Steve Mara, Tokoh Muda Papua

Steve Mara, Tokoh Muda Papua

Steve Mara: Upaya Memerdekakan Papua Tak Lebih dari Misi Kelompok yang Bertentangan dengan Kedaulatan Indonesia

portalnawacita.com – Hingga saat ini, wilayah Papua yang telah mengalami pemekaran, ternyata masih dipertanyakan oleh sejumlah pihak yang bertentangan. Mereka yang mayoritas merupakan pendukung pelepasan Papua dari Indonesia selalu berusaha mengungkit dan mengangkat kembali isu berkaitan dengan sejarah Papua dalam berbagai versi dan cerita. Tentu saja misi yang ingin dituju adalah menggiring opini publik agar memiliki kesamaan tujuan mendukung Papua lepas dari Indonesia. Mereka bahkan tak segan menyudutkan pemerintah, negara, atau menyenggol pihak internasional demi meraih perhatian dari upaya tersebut.

Jika dirunut lebih detail, Wilayah Papua yang sebelumnya terbagi menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat telah menjadi bahasan dalam dan luar negeri yang diawali dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 sebagai landasan perjuangan Indonesia untuk menyatukan Papua kembali ke wilayah NKRI. Namun demikian, Indonesia menghadapi resistensi yang sangat kuat dari pemerintah kerajaan Belanda saat itu. Hingga akhirnya pemerintah Indonesia dan pemerintah kerajaan Belanda mencapai titik puncak kesepakatan melalui perjanjian New York 1962 yang memberikan mandat melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dimana hasilnya wilayah Papua kembali ke pangkuan NKRI kemudian disahkan melalui resolusi PBB nomor 2504 pada 19 November 1969. Peristiwa politik inilah yang membedakan sejarah integrasi Papua berbeda dengan daerah lainnya, namun generasi muda Papua sepertinya masih belum sepenuhnya memiliki pemahaman yang kuat tentang proses kembalinya Papua ke pangkuan NKRI akibat minimnya literasi tentang perjuangan indonesia untuk menyatukan kembali Papua ke NKRI yang kemudian justru dimanfaatkan kelompok separatis untuk menyuarakan pemisahan Papua dari Indonesia.

Salah satu penjelasan yang runtut berkaitan dengan sejarah Papua datang dari Tokoh muda Papua yang juga merupakan Ketua Lumbung Informasi Rakyat Papua (LIRA), Steve Mara. Dalam sebuah wawancara di MMI TV yang diunggah di kanal Youtube, dirinya menjelaskan bahwa proses panjang pemerintah Indonesia mengambil kembali Papua dari kekuasaan Belanda terjadi saat 17 Agustus 1945 yang merupakan hari kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Namun beberapa hari sebelumnya, pada 11 agustus 1945 wilayah Papua tidak diserahkan oleh Belanda dengan berbagai alasan. Setelah sejumlah konferensi dilakukan, baru kemudian pada penyelenggaraan KMB tahun 1949 terjadi pembahasan kembali mengenai wilayah Papua, termasuk upaya pengembalian kepada NKRI.

Berbicara mengenai sejarah Papua memang bisa disebut berbeda dengan daerah lain. Papua adalah salah satu daerah yang memiliki proklamasi, sementara di daerah lain di Indonesia merupakan limpahan dari VOC kepada Hindia Belanda. Papua pada saat itu melalui Raja Williem disebut sebagai wilayah di bawah kerajaan Belanda. Hingga kemudian pada tahun 1956 setelah sebelumnya terdapat KMB tahun 1949 yang juga belum menemukan keseriusan terkait pembahasan status wilayah Papua. Bung Karno lantas menasionalisasi 700 perusahaan Belanda, memutus hubungan diplomatik, serta mengusir 5000 orang Belanda untuk keluar dari Indonesia, yang ternyata berhubungan dengan keseriusannya untuk mengembalikan status Papua. Akhirnya pada 19 Desember 1961, Presiden RI pertama tersebut mengumumkan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) yang menyatakan bahwa masih ada wilayah Indonesia yang diduduki pihak asing, yakni Papua. Operasi tersebut kemudian dimulai pada Desember 1961 dan berakhir pada Agustus 1962 dengan adanya perjanjian New York yang kemudian terdapat penyerahan wilayah Papua melalui UNTEA. Kembali menyatakan pepatah lama, Steve Mara menyebut bahwa Papua seperti wanita cantik yang diperebutkan.

Status Papua di NKRI telah Final dengan Adanya Resolusi PBB

Penegasan ini seharusnya tidak perlu dibahas kembali ketika suara publik bulat mengakui bahwa Papua merupakan bagian integral Indonesia. Namun, secara fakta hingga saat ini masih terdapat pihak-pihak yang merongrong dan mempertanyakan posisi Papua di wilayah Indonesia. Tentu saja misi yang dibawa adalah upaya untuk pelepasan Papua dari Indonesia. Steve Mara secara jeli melihat adanya kutipan secara selektif terkait fakta dan narasi laporan dari sekjen PBB berkaitan dengan status Papua kala itu. Perulangan narasi menjadi modus yang dilakukan dengan menggunakan potongan kalimat atau keterangan yang tidak utuh dan bahkan bertentangan dengan pernyataan perwakilan PBB untuk Irian Barat, Ortiz Sanz. Salah satu tokoh yang kerap melakukan hal tersebut adalah pendeta Socratez Sofyan Yoman. Adalah seorang pendeta politik yang secara terang-terangan mendukung upaya memerdekakan Papua. Sebuah hal paradoks dari seorang pendeta yang harusnya menggembalakan umat, bukan membuatnya tersesat. Selain mengutip secara selektif pernyataan Ortiz Sana, gembala Sofyan diketahui juga mengutip pernyataan Presiden B.J. Habibie mengenai peribahasa ‘orang bodoh’ serta juga mengutip Prof. JE Sahetapy mengenai peribahasa ‘kebohongan’. Pertanyaannya kemudian, apakah setiap orang yang mengkritik tulisan pendeta Socratez Yoman dalam membaca secara utuh laporan dari Ortis Sanz, tata persidangan PBB, dan Resolusi 2504, adalah orang-orang bodoh dan berbohong? Apakah setiap orang yang berbeda pendapat dengan Gembala Socratez Sofyan Yoman dan bahkan memberikan klarifikasi serta pelurusan fakta kepada Gembala Sofyan adalah orang yang bodoh dan bohong? Tentu ini menjadi garis bawah bagi setiap orang yang pernah membaca tulisan Socratez Yoman. Diperlukan sikap kritis agar tidak mudah termakan subjektifias yang terlalu berkepentingan.

Steve kemudian merasa khawatir jika orang-orang seperti Socratez Yoman terus menerus mengangkat fakta laporan Ortis Sanz secara selektif, maka sama saja membangun pemahaman publik secara keliru. Sehingga bagaikan membangun rumah di atas pasir dan bukan di atas batu karang yang teguh. Karena ketika pemahaman tersebut dihantam oleh terang pengetahuan, maka bangunan pemahaman tersebut akan runtuh karena hanya dibangun di atas pasir kekeliruan. Socratez Yoman berbicara mengenai cacat hukum. Maka mari kita perhatikan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2020. Pada tahun 2019, UU Tahun 1969 mengenai Pembentukan Propinsi Otonom di Irian Barat digugat atau diuji materil ke Mahkamah Konstitusi. Intinya, agar Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut karena Pepera dilaksanakan secara cacat hukum. Tuntutan tersebut ditolak Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU Pembentukan Propinsi Otonom tersebut adalah tindak lanjut atas suatu peristiwa hukum internasional yang sah.

Penjelasan Mengenai One Man One Vote

Jika terdapat kekurangan dalam pelaksanaan suatu kegiatan demokrasi maka tiada pesta demokrasi yang tanpa kekurangan. Jika diperhatikan, di tulisan Steve Mara sebelumnya telah dicontohkan berbagai negara yang self-determinationnya tidak one-man one vote. Sebut saja Amerika sebagai negara demokrasi modern yang telah lebih dari dua ratus tahun hidup berbangsa dan bernegara.

Tentu pahitnya dinamika hidup kebangsaan mereka bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita. Negara yang dikenal sebagai demokrasi terbesar bahkan masih menggunakan sistem electoral college yang menyerahkan pemilunya hanya pada 538 orang saja. Apakah ratusan juta warga negara Amerika lainnya yang diwakili 538 orang tersebut merasa hak sipil dan politiknya dijajah? Hal ini yang perlu direnungkan bersama, termasuk kepada Socratez Yoman.

Kemudian terkait hukum internasional, maka menarik untuk mengutip pendapat John Saltford dalam bukunya yang berjudul “The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962 – 1969” Buku ini meski juga dikutip oleh Gembala Socratez Yoman, namun Steve Mara merasa ragu apakah beliau memahami secara utuh posisi John Saltford dalam buku tersebut. Sebagai Contoh, dalam Bab Conclusion dari bukunya, John Saltford mengutip dan mendukung pendapat Mullerson bahwa “…there is no right to secession in international law…”. Terjemahan bebasnya, “…tidak ada hak untuk memisahkan diri dalam hukum internasional”.Bahkan John Saltford sendiri mengakui bahwa tidak ada hak memisahkan diri dalam hukum internasional.Saltford kemudian menjelaskan pentingnya membuktikan bahwa minoritas Papua dijajah oleh mayoritas Indonesia. Menjadi pertanyaan seorang Steve mara kemudian, apakah kita sebagai Bangsa Papua atau Melanesia diperlakukan berbeda, dijajah hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya kita oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakannya?

Sebagai anak muda, Steve Mara kemudian berpikir bahwa kita juga bisa mengkritik bahan bacaan yang ditulis oleh orang asing seperti John Saltford. Kita harus memahami asumsi dibalik klaim yang disuguhkan para peneliti asing tersebut. Kita harus bertanya, apa asumsi dasar yang mereka gunakan? Apakah mereka benar-benar ingin membantu atau justru semakin mempertajam permasalahan? Sepertinya pertanyaan-pertanyaan ini luput ditanyakan oleh Gembala Socratez kepada dirinya sendiri.

Kritikan yang disampaikan oleh Steve Mara kemudian adalah cara pandang John Saltford dalam bukunya yang justru terlalu menganggap Bangsa Papua sebagai bangsa inferior yang tidak mampu berpikir dan bertindak secara bebas. Bangsa Papua diposisikan sebagai objek dan bukan subjek, sebagai tawanan di Indonesia. Peneliti asing seperti John Saltford menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Memberikan resep jalan keluar atas segala permasalahan Bangsa Papua. Jika model begini, siapapun kemudian bisa menjadi Tuhan dengan gampang.  

Merenungkan Kembali Posisi Papua

Segala hal yang kemudian mempertanyakan tentang posisi Papua, terlebih ajakan untuk mendukung Papua merdeka harusnya tak lagi menjadi hal yang diperhatikan. Steve Mara justru mengajak generasi muda untuk bertanya. Siapa yang menjadi Tuan Tanah di Bumi Papua saat ini? Apakah militer? Siapa yang mengisi jabatan publik di Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota, Desa, Militer, Kepolisian, Menteri? Apakah tidak ada orang Papua? Kita harus renungkan dengan baik bahwa untuk sampai hingga kebijakan otonomi daerah telah melalui perjalanan panjang. Di balik Otonomi daerah yang diterapkan di bumi Papua saat ini, ada upaya orang asli Papua (OAP) untuk menjadi Tuan Tanah di Bumi Papua. Jika tidak percaya, maka bisa diperiksa nama-nama gubernur atau kepala daerah di Papua semenjak tahun 2000. Apakah mereka bukan OAP? Apakah Gembala Sofyan lebih bijak dibandingkan para pendahulu kita yang telah berjuang sebelum beliau? Apakah generasi Papua sebelumnya adalah generasi buta huruf yang tidak memahami situasi bangsa Papua dan tidak bisa berpikir secara bebas seperti yang John Saltford asumsikan? Hal ini harus menjadi perenungan bersama.  

Lantas, masih berkaitan dengan hukum internasional, yakni International Court of Justice (Mahkamah Internasional) dalam perkara Burkina Faso melawan Mali menyatakan prinsip hukum internasional uti possidetis iuris, yakni bahwa batas wilayah negara yang baru merdeka mengikuti batas wilayah negara penjajahnya. Karena itulah sejarah Papua bukan ditarik dari tahun 1969, melainkan dari tahun 1945 yang memang telah menjadi bagian dari Indonesia. Pepera tahun 1969 adalah menguatkan keberadaan Papua dalam Indonesia dan menandakan kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Kemudian, terkait Pasal 46 UU Otsus 2001 dimana Gembala Sofyan pernah menuduh Indonesia menghapus Pasal tersebut. Steve Mara lantas mengajukan satu pertanyaan mendasar kepada pendeta politik tersebut, apakah Pasal yang disebut dihapus di UU amandemen Otsus yang terbaru? Jika tidak diamandemen maka artinya Pasal tersebut tetap ada. Sehingga tidak ada yang menghapus Pasal tersebut sebagaimana dituduhkan oleh Gembala Sofyan. Tentunya ini tuduhan yang tidak berdasar dan cenderung menghasut.

Steve Mara yakin suatu hari nanti putera-puteri Papua akan menduduki kursi pimpinan nasional yang tertinggi di Nusantara. Kiranya setiap insan Papua berkontribusi untuk membangun pemahaman yang utuh, tidak selektif dalam memaknai peristiwa penting seperti Pepera. Sehingga bangunan pemahaman tersebut kokoh karena dibangun di atas batu pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan pasir kekeliruan dan hasutan. Saya 100% Orang Papua, 100% Orang Indonesia.

Maka kepada Gembala Socratez Sofyan Yoman dan sejumlah tokoh pendukung Papua merdeka di luar sana, melalui tulisan yang disampaikan oleh tokoh muda Papua, Steve Mara seharusnya menjadi refleksi bersama. Upaya untuk memerdekakan Papua tak lebih dari misi pribadi atau kelompok yang bertentangan dengan pemerintah Indonesia.

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)