Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Anggota satuan pengamanan adat Bali atau Pecalang memeriksa surat jalan seorang pengendara saat hari pertama penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) di pos pantau perbatasan Biaung, Denpasar, Bali, Jumat (15/5/2020). Kota Denpasar menerapkan PKM selama satu bulan dengan mendirikan 10 pos pantau terutama di perbatasan kota untuk mengawasi aktivitas warga tanpa tujuan jelas dan melanggar protokol kesehatan termasuk melanggar larangan mudik dalam upaya menghentikan penyebaran wabah COVID-19. ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/pras.

Peran Pecalang Kendalikan Covid-19 di Bali

PortalNawacita – Sebutan Pecalang sudah tak asing lagi di kalangan wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang pernah berkunjung ke Pulau Dewata, Bali. Kata pecalang berasal dari kata ‘calang’, yang diambil dari kata ‘celang’, yang berarti waspada. Pecalang memiliki tugas untuk mengamankan dan menertibkan desa, baik dalam keseharian maupun dalam hubungannya dengan penyelenggaraan upacara adat atau keagamaan.

Ketika virus corona mewabah di banyak negara, Gubernur Bali I Wayan Koster bersama Majelis Desa Adat Provinsi Bali pada sekitar akhir bulan Maret 2020, sepakat membentuk Satuan Tugas Gotong Royong Pencegahan COVID-19 berbasis desa adat. Satgas Gotong Royong di lingkungan desa adat tersebut memiliki tugas untuk memberdayakan seluruh warga desanya agar bergotong royong bersama dalam mencegah penyebaran COVID-19 baik secara secara ‘sekala’ atau jasmani / nyata maupun secara ‘niskala’ atau rohani / tidak nyata.

Ikatan sosial yang terjadi antara desa adat dengan masyarakat di Bali, dianggap menjadi salah satu kunci efektif dalam berbagai upaya pencegahan COVID-19. Oleh karena itu keberadaan desa adat tersebut memiliki peran penting dalam mengatur warganya dalam mematuhi protokol kesehatan. 

Terkait tugasnya secara nyata, satgas di desa adat melaksanakan berbagai upaya sosialisasi, edukasi, pencegahan, pengawasan serta pembinaan terkait dengan COVID-19. Dalam pelaksanaannya, Pecalang atau petugas keamanan adat Bali berperan sebagai ujung tombak dalam pengawasan serta pembinaan yang dilakukan bersama dengan sejumlah unsur terkait seperti TNI, Polri dan Linmas.

Dalam kesehariannya, Pecalang bersama petugas kemananan lainnya rutin melakukan patroli di wilayah desa adatnya masing-masing untuk memastikan situasi di wilayahnya kondusif sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, dalam fungsi pengawasan, tim keamanan gabungan akan meminta tempat usaha yang masih buka melebihi aturan jam operasional yang telah ditetapkan untuk segera menutup lokasi usahanya. Termasuk apabila masih ada ditemukan warga yang berkumpul di luar rumah, mereka juga akan diminta untuk segera membubarkan diri.

Sejumlah desa adat di Bali juga telah mengambil berbagai langkah serta menerapkan sanksi sebagai upaya pembinaan kepada masyarakat, karena setelah melakukan berbagai upaya pengawasan yang dilakukan dengan cara persuasif, masih saja ditemukan warga yang tetap melanggar aturan-aturan pencegahan penyebaran COVID-19. 

Misalnya Desa Adat Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali. Desa adat tersebut memberlakukan sanksi adat berupa kerja bakti membersihkan lingkungan selama tiga hari berturut-turut bagi warga yang melanggar aturan.

“Dalam penerapan sanksi adat ini, kami tetap melakukan pembinaan dan tidak melakukan tindakan kekerasan maupun intimidasi. Tujuannya hanya untuk memberikan efek jera agar warga yang melanggar tidak mengulangi kesalahannya kembali dan kesalahan yang telah dilakukan para pelanggar juga tidak ditiru warga lainnya,” ujar Bendesa atau Kepala Desa Adat Jimbaran, I Made Budiarta. 

Setelah sanksi adat tersebut diberlakukan dan ramai dibahas di media sosial, Made Budiarta mengatakan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 di wilayahnya menurun drastis. Desa Adat Intaran di kawasan Sanur, Kota Denpasar, juga mengambil langkah yang sama untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

Di wilayah itu, warga yang masih tidak mematuhi penggunaan masker, harus bersiap menjalani sanksi berupa denda sosial dengan membersihkan lingkungan di kawasan desa adat Intaran selama tiga hati berturut-turut atau diganti dengan denda beras lima kilogram yang dapat diuangkan menjadi Rp50 ribu.

Sementara di desa-desa di Kabupaten Badung kepatuhan warga terbentuk atas kesadaran akan dua risiko: risiko terinfeksi Covid-19 dan risiko menanggung malu karena mendapat sanksi adat jika melanggar peraturan.

Sebelum sanksi tersebut diterapkan, pihak desa adat juga telah melakukan sosialisasi dengan membagikan masker kepada masyarakat yang masih belum mengenakan dan meminta mereka untuk melakukan ‘push-up’ sebagai efek jera.

Sanksi adat tersebut terbukti efektif membentuk kepatuhan warga. Ketika di wilayah lain banyak pelanggaran terhadap kebijakan pembatasan sosial berskala besar, di Bali ketertiban relatif terjaga.

Dengan upaya gotong royong yang dilakukan oleh berbagai pihak khususnya di wilayah desa adat tersebut, diharapkan pandemi COVID-19 penyebarannya tidak semakin meluas dan aktivitas masyarakat termasuk aktivitas pariwisata di Pulau Dewata yang saat ini tengah mengalami keterpurukan dapat kembali pulih dan normal kembali.[*]