Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Nadiem: Jokowi Itu Kerja Paling Keras

PortalNawacita – Mendikbud Nadiem Makarim menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai sosok inspirasinya. Menurut dia, Jokowi ahli dalam hal debirokratisasi.

“Saya belajar langsung dari pak presiden. Pak presiden ini memang jagoannya debirokratisasi. Beliau bilang dan saya 100 persen setuju dan saya inspired banget dengan kepemimpinan dia,” Kata Nadiem dalam seminar Indonesia’s Talent Deficit di Hotel Kempinski, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2020).

Nadiem mengungkapkan bahwa di Kabinet Indonesia maju, Jokowi adalah sosok pekerja keras. Jokowi bekerja lebih keras daripada yang lain selama 24 jam nonstop.

“BTW (by the way), bagi yang nggak tahu di Kabinet Indonesia Maju yang kerjanya paling keras itu kerjanya Pak Jokowi. Beneran, itu luar biasa melihat Pak Presiden kerja tuh dan motivasi dia nggak pernah setop kerja nonstop 24 hours (24 jam),” ungkapnya.

Nadiem pun mencontohkan masukan-masukan yang diberikan oleh Jokowi kepada dirinya dalam dunia pendidikan. Seperti memberikan standar, bukan malah memberi akreditasi kepada program studi yang dilakukan setiap 5 tahun sekali.

“Dia (Jokowi) bilang contohnya daripada semua itu dikasih izin, contohnya izin prodi atau akreditasi pasca 5 tahun dalam rangka mutu lebih baik, misalnya prodi dikasih standar dan kalau orang nggak standar itu ditutup. Lihat di daerah, jadi sehingga bagi yang mau lari duluan yang kepengin, mereka bisa tanpa harus melalui proses birokrasi perizinan yang luar biasa panjangnya menimbulkan berbagai macam masalah,” tuturnya.

“Tapi kalau dia melanggar aturan minimum, artinya yang merugikan masyarakat, di situ pemerintah harus tegas termasuk menutup prodi tersebut atau memaksa akreditasi. Akreditasi sama juga bukan tiap 5 tahun dipaksa reakreditasi di mana tiap mayoritas dapat angka yang sama, A ya A, B ya B. Harusnya berubah,” sambung Nadiem.

Nadiem tidak ingin proses penilaian program studi nantinya berbelit-belit dengan aturan-aturan yang menyulitkan. Menurutnya, regulasi yang dibuat sering kali hanya fokus menyetop 10 persen yang buruk sehingga 90 persen regulasi lainnya rugi karena banyak yang tidak terpakai.

“Kalau pemerintah dapat feedback negatif atau apa kita boleh mengakreditasi kan secara langsung bagi yang ada komplain yang ada isu atau data yang aneh. Filsafatnya berubah. Yang tadinya sifat regulator semuanya butuh izin, kita ubah kita me-regulate dengan outcome,” sebut Nadiem.

“Kalau outcome jelek kita tertibkan, itu yang membuka 90 persen yang tadinya nggak bermakna berbuat buruk itu bisa lari duluan. Kita ini bikin regulasi sering kali untuk menyetop 10 persen yang buruk. Jadi 90 persennya rugi gara-gara si 10 persen ini. Banyak yang nganggur kan, kasihan 90 persen. Mendingan semua jalan kalau 10 persen yang ketahuan akhirnya siapa ditargetkan gitu loh,” beber Nadiem. (DETIK)