Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Money Print di Tengah Covid-19

Oleh: Primus Dorimulu

PortalNawacita – Soal cetak uang, tiba-tiba menjadi topik yang ramai diperbincangkan banyak orang dengan berbagai pandangan, pujian, kritik, hingga cacian. Banyak yang mengecam seakan pencetakan uang untuk membiayai stimulus ekonomi yang terpukul Covid-19 sebagai kebijakan yang hanya memicu inflasi dan membuka peluang moral hazard.

Mereka meminta Bank Indonesia (BI) tidak mencetak uang untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Karena mencetak uang untuk membiayai belanja negara akan mengobarkan api inflasi yang bisa melumatkan perekonomian. Selain itu, sejarah menunjukkan, pencetakan uang rawan moral hazard seperti yang terjadi pada tahun 1998 ketika bank sentral memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang kesulitan likuditas.

Triliunan rupiah dana BLBI dirampok oleh kalangan bankir, pemilik bank, dan pengusaha. Waktu itu, hampir semua pemilik bank bermasalah adalah debitur. Kredit yang disalurkan kepada perusahaan pemilik bank melampaui batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Penyaluran BLBI ke bank bermasalah agar bisa tetap beroperasi dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel. Banyak BLBI yang disinyalir masuk kantong pemilik bank dan bankir.

Kondisi saat ini jauh berbeda. Perbankan nasional sudah jauh lebih bagus, dilihat dari pelaksanaan good governance dan kinerja keuangannya. Restrukturisasi perbankan selama dekade 2000-an cukup memberikan hasil positif.

Isu pencetakan uang saat ini berbeda dengan tahun 1998. Menghadapi pandemi Covid-19, bank sentral tidak memberikan BLBI. Oleh karena itu, sangat tidak relevan jika isu pencetakan uang saat ini disamakan atau dimirip-miripkan dengan BLBI.

Uang ada karena dicetak. Namun, pencetakan uang tidak dilakukan serampangan. Bank sentral di setiap negara melakukan perhitungan cermat untuk menambah jumlah uang beredar. Uang beredar selalu dijaga ketat agar senantiasa mencerminkan kekuatan ekonomi negaranya. Jumlah uang beredar yang terlalu banyak berdampak inflatoar.

Inflasi tinggi adalah musuh ekonomi. Inflasi tinggi tidak saja merugikan masyarakat berpenghasilan tetap, tetapi juga memperlemah nilai tukar dan mendongkrak naik suka bunga. Karena itu, semua kebijakan bank sentral sangat memperhatikan dampak inflatoar. Apalagi tugas utama bank sentral adalah menjaga inflasi.

Mencetak uang untuk membiayai APBN bukan sesuatu yang haram. Semua negara melakukannya. Ketika membutuhkan dana pembangunan yang lebih besar, dan penerimaan negara belum mencukupi, pemerintah Indonesia menerbitkan surat berharga negara (SBN), baik surat negara (SUN) maupun surat berharga syariah negara (SBSN). Salah satu pembeli siaga SBN adalah BI.

Selama ini, defisit APBN Indonesia selalu dijaga agar tidak melebihi rasio 3% dari produk domestik bruto (PDB) sebagaimana diamanatkan UU. Ketika coronavirus disease 2019 (Covid-19) mulai menghantam ekonomi dunia Februari 2020, berbagai negara memberikan stimulus ekonomi dengan risiko defisit fiskalnya melebar.

Negara besar seperti AS cukup berbeda dari yang lain. Dengan hard currency yang dimilikinya, The Federal Reserve (Fed) bisa mencetak uang untuk membeli surat berharga korporasi, selain surat berharga pemerintah. Bank sentral AS tak ada masalah dengan print money karena dolar laris di mana-mana.

Fungsi The Fed berbeda dengan BI. Fungsi utama BI adalah menjaga stabilitas kurs rupiah dan inflasi. Sedang The Fed berfungsi mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan di negaranya. Dengan fungsi itu, The Fed bisa membeli surat berharga yang dijual korporasi, baik korporasi yang bergerak di sektor keuangan maupun korporasi di sektor riil.

Merespons krisis finansial akibat subprime mortgage crisis 2008, The Fed menggelontorkan dana lewat quantitative easing (QE) selama periode 2008 sampai Oktober 2014 sebesar US$ 4,5 triliun. Selama periode itu, suku bunga acuan, fed fund rate (FFR) dipangkas dari level 3,00% ke 0,50-0,75%. Menggelontorkan dana lewat QE dan pemangkasan suku bunga dilakukan bersamaan oleh The Fed.

Menghadapi Covid-19, The Fed sudah mengumumkan QE sebesar US$ 700 miliar atau setara Rp 10.500 triliun pada Rp 15.000 per dolar. Sedang FFR sudah dipangkas ke level 00,00-25.00%. Gubernur The Fed Jerome Powell menegaskan pihaknya akan terus memberikan QE untuk mencegah ekonomi AS dari resesi dan mendongkrak ekonomi negeri itu ke level yang mampu menyerap tenaga kerja dengan laju pertumbuhan ekonomi yang baik.

Dalam pada itu, Presiden Donald Trump sudah mengumumkan dana stimulus sebesar US$ 2,3 triliun atau setara Rp 34.500 triliun pada kurs Rp 15.000. Ada big push dari otoritas moneter dan otoritas fiskal untuk mengangkat ekonomi negeri Paman Sam.

Dari mana The Fed mendapatkan dana besar untuk melakukan QE? Inilah hebatnya AS. Mata uangnya adalah the hardest currency saat ini. Mata uang paling kuat sejagat. Semua negara memegang mata uang dengan tulisan “In God We Trust” itu. Euro yang mencoba mengimbangi dan menggeser peran dolar sudah terkulai. Pesaing terberat dolar pada masa akan datang adalah yuan, mata uang Tiongkok. Inilah salah satu titik api yang acap memantik perseteruan AS dan Tiongkok.

Last Resort
Pandemi Covid-19 adalah kejadian luar biasa yang harus direspons dengan kebijakan yang luar biasa pula. Stimulus ekonomi harus diberikan dalam takaran yang cukup besar agar dampaknya nendang atau mampu menggerakkan roda ekonomi yang kandas dihajar Covid-19. Stimulus ketiga sebesar Rp 405,1 triliun dinilai belum cukup nendang.

Dana stimulus dalam jumlah besar dalam waktu singkat tak bisa datang dari penerimaan pajak dan bukan pajak. Sekitar 80% penerimaan negara dari pajak. Apa mungkin pajak bisa dikumpulkan dalam waktu tiga bulan?

Oleh karena itu, solusinya adalah penjualan SBN. Pemerintah menerbitkan SBN untuk membiayai stimulus ekonomi. Ekonomi tidak boleh dibiarkan terpuruk. Penerbitan SBN yang semula direncanakan Rp 389.322 triliun akan ditingkatkan menjadi Rp 549.550 triliun.

Selain penerbitan SBN, pemerintah juga mendapatkan dana dari penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp 111.529 triliun. Ke depan, penerbitan surat berharga akan diperbesar jika situasi menuntut. Yang penting, dana untuk stimulus ekonomi adalah kebutuhan riil yang dihitung dan disalurkan dengan cermat. Tidak ada salah hitung dan tidak ada korupsi.

Siapakah pembeli SBN? Pembeli SBN adalah investor lokal dan asing, bank dan non-bank. Para pembeli SBN hadir di pasar primer dan di pasar sekunder.

Pada pasar primer, para pembeli langsung berhadapan dengan issuer, yakni pemerintah sebagai penerbit SBN. Sedang di pasar sekunder, pembeli berhadapan dengan para bond holder atau pemilik SBN. Pemindahtanganan SBN di pasar sekunder terjadi tanpa batas, terus terjadi selama ada penawaran dan permintaan.

Nah, pada kondisi normal, BI hanya berada di pasar sekunder. Ketika ada investor atau bond holder yang melepas, BI menampung. Menurut amanat UU, SBN tak boleh gagal bayar. Bunga dan cicilan pokok dibayar tepat waktu.

Lagi pula, SBN umumnya memberikan kupon bunga yang tinggi, sekitar 7%. Pada lelang pekan lalu, yield SBN dengan tenor 10 tahun sebesar 8,08%. Dalam kondisi pasar saham fluktuatif seperti saat ini, memegang SBN adalah keputusan investasi paling tepat karena aman dan menguntungkan. Pemodal mendapatkan fixed income.

BI umumnya membeli SBN yang dilepas pemodal asing di pasar sekunder. Biasanya asing melepas asetnya jika ada isu negatif. Bank sentral yang mengetahui persis keadaaan Indonesia dan kondisi keuangan pemerintah bertindak sebagai pembeli.

Dalam keadaan luar biasa seperti saat ini, ketika pemerintah kesulitan mendapatkan dana dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat, BI tidak saja hadir di pasar sekunder, melainkan juga di pasar primer untuk membeli SBN.

Namun, di pasar primer, posisi BI adalah non-competitive bidder. Tingkat bunga dan jumlah SBN yang ditawarkan BI tidak menjadi prioritas. BI bukanlah bidder yang harus dipertimbangkan dan diutamakan.

Ketika tak ada pemodal yang memberikan penawaran, bank sentral tampil sebagai bidder. Di sinilah peran BI sebagai lender of the last resort. Bank sentral menjadi penyedia dana bagi negara ketika pemerintah tak lagi mendapatkan dana dari pihak mana pun.

Dari mana BI mendapatkan duit? Tentu saja print money atau pencetakan uang. Ini adalah suatu praktik yang wajar dan berlaku umum di dunia. Namun, uang tidak digelontorkan tanpa perhitungan dan kontrol. Dana dikeluarkan BI sesuai permintaan pemerintah dan itu berdasarkan besaran defisit fiskal. Semuanya tercatat dan diaudit.

Besaran defisit fiskal tidak ditentukan sepihak oleh menteri keuangan, melainkan berdasarkan hasil rapat kabinet. Ada persetujuan dari menko perekonomian dan presiden. Terakhir, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR.

BI, menkeu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berada dalam satu forum yang disebut Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Lewat forum ini, mereka membahas berbagai isu moneter, keuangan, dan fiskal, juga melakukan pertimbangan bersama tentang besaran defisit APBN 2020.

Peran BI sebagai lender of last resort berlaku juga bagi perbankan. Untuk bank yang kesulitan dana dan bank tersebut dinilai memiliki pengaruh dan jika ditutup berdampak sistemik, BI wajib memberikan dana guna menjaga kepercayaan publik.

Di mana salahnya BI menjalankan fungsinya sebagai lender of last resort? Jangan hanya menyoroti BI mencetak duit, tetapi perhatikan juga mekanisme dan peruntukannya. Dukungan likuiditas dari BI saat ini jauh beda dengan BLBI pada tahun 1998. Waktu itu, pembelian BLBI tidak mengikuti mekanisme perdagangan SBN. Lagi pula waktu itu belum ada instrumen bernama SBN.

BI memasok duit ke pemerintah lewat penjualan SBN dan BI yang hadir di pasar primer bukanlah sebagai competitive bidder. Selama ada pemodal yang membeli, BI tidak terlibat. Namun, jika tidak ada yang membeli, BI sebagai lender of last resort wajib melakukan pembelian.

Mekanisme yang ditempuh BI untuk menjalankan perannya sebagai lender of last resort biasa-biasa saja. Yang membuat heboh adalah isu print money dan BLBI jilid II itu. Dalam kenyataan, tidak ada praktik seperti itu. Pekan lalu, BI sudah masuk ke pasar perdana SBN. Meski demikian, imbauan agar BI KSSK berhati-hati tetap perlu diperhatikan.

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi perang besar melawan Covid-19. Pemerintah tidak boleh tak punya uang. Alat pelindung diri (APD) rumah sakit wajib dilengkapi. Bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat terdampak Covid-19 harus diberikan. Tak boleh ada rakyat yang mati lapar.

Selain itu, sebagian besar korporasi kini bagai kapal karam. Banyak pekerja dirumahkan. Pada awal April 2020, jumlah pekerja yang dirumahkan sudah 1,5 juta. Saat ini, angka pengangguran yang tahun lalu 7 juta sudah meningkat hingga di atas 20 juta.

Agar bisa beroperasi kembali, korporasi harus mendapatkan dana pinjaman bank. Itu sebaiknya, OJK, BI, dan Kemkeu mendukung restrukturisasi utang. Bank dan debitur harus duduk bersama untuk mencari solusi.

Debitur yang mengikuti restrukturisasi mencapai kesepakatan dengan bank akan mendapatkan dana untuk terus beroperasi. Kolektabilitas kreditnya diturunkan dari kategori tiga dan empat ke kategori dua.

Bank yang menjalankan restrukturisasi mendapatkan uang dari BI dan insentif dari pemerintah. Bank yang membutuhkan likuditas mendapatkan dana dari BI dengan me-repo-kan SBN.

Selain keringanan pajak, pemerintah pada stimulus ketiga menyediakan dana Rp 150 triliun untuk memulihkan industri.

Peran BI sebagai last resort menjadi sangat penting. Bank sentral kini tampil mendukung pemerintah berperang melawan Covid-19.

Perbesar Defisit
Untuk mencegah Covid-19, membantu masyarakat terdampak dan menggerakkan ekonomi yang terpukul, pemerintah memberikan stimulus dengan melebarkan defisit. Lewat Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, batas defisit fiskal boleh melebihi 3% pada APBN 2020 hingga APBN 2022. Dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Perincian APBN 2020, defisit APBN 2020 dinaikkan dari 1,76% menjadi 5,07% dari PDB. Dalam angka, defisit menggelembung dari minus Rp 307,2 triliun ke minus Rp 852,9 triliun. Untuk memberikan stimulus yang lebih besar, belanja pada APBN 2020 dinaikkan dari Rp 2.540,4 triliun ke Rp 2.613,8 triliun.

Sebagai konsekuensi, pembiayaan menggelembung dari Rp 307,225 triliun menjadi Rp 852,935 triliun. Defisit meningkat Rp 545,710 triliun atau naik sekitar 177,6%. Pembiayaan terbesar berasal dari penerbitan SBN yang direncanakan meningkat dari Rp 389,3 triliun menjadi Rp 549,5 triliun.

Dengan postur APBN seperti ini, pemerintah memiliki dana untuk stimulus ekonomi. Hingga saat ini, pemerintah sudah tiga kali memberikan stimulus ekonomi, masing-masing, Rp 8,5 triliun, Rp 22,5 triliun, dan Rp 405,1 triliun.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyatakan respons pemerintah berevolusi sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi. Pada stimulus pertama, Covid-19 belum menyebar di Indonesia. Demikian pula pada stimulus kedua. Waktu itu, Covid-19 belum menyeramkan.

Stimulus pertama ditujukan kepada sektor periwisata yang terpukul oleh dampak pembatasan pergerakan manusia di sejumlah negara. Stimulus juga diberikan untuk subsudi bunga perumahan dan perluasan kartu sembako.

Pada stimulus kedua, pemerintah fokus pada peningkatan daya beli masyarakat dan kemudahan ekspor-impor. Ada insentif pajak bagi para pekerja, pembebasan PPh pasar 22, pengurangan PPh pasar 25 hingga 30%, dan percepatan restitusi bagi 19 sektor tertentu.

Ketika, penyebaran Covid-19 meluas, korban berjatuhan, kapasitas medis tidak lagi cukup untuk melayani pasien Covid-19, dan ekonomi mulai luluh lantak, pemerintah meluncurkan stimulus ketiga sebesar Rp 405,1 triliun. Selain itu, ada penghematan sekitar Rp 190 triliun dan realokasi belanja Rp 55 triliun di kementerian dan lembaga.

Dana stimulus ekonomi Rp 405,1 terbagi atas Rp 75 triliun untuk insentif tenaga medis dan belanja penanganan kesehatan, Rp 110 triliun untuk social safety net, Rp 70,1 triliun untuk pajak dan bea masuk yang ditanggung pemerintah dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR), dan Rp 150 triliun untuk mendukung pemulihan ekonomi, khususnya sektor industri.

Dana stimulus ini dinilai tidak cukup untuk mendongkrak daya beli rakyat yang kehilangan pendapatan dan
ekonomi yang ambruk terpukul Covid-19. Pandemi ini sudah menimbulkan lumpuhnya kegiatan produksi, terputusnya rantai pasokan barang, dan hancurnya daya beli masyarakat.

Krisis ekonomi tahun 2020 jauh melebihi krisis ekonomi tahun 1998. Waktu itu, yang terpukul hanya sektor keuangan dan korporasi besar yang terjerat utang dan bangkrut. Sedang tahun ini, yang terpukul adalah semua sektor, termasuk sektor informal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sisi supply dan demand sama-sama terpukul dan jatuh terjengkang.

Sebagai pandemi, Covid-19 memukul ekonomi dunia. Bank Dunia memperkirakan, laju pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2020 berkisar minus 3,5% hingga positif 2,1%. KSSK membuat dua skenario. Pada skenario berat, ekonomi bertumbuh 2,3% dan skenario sangat berat minus 0,4%. Target KSSK adalah menjaga penurunan ekonomi tidak sampai jauh menembus 2,3%.

Pada kuartal I 2020, ekonomi Indonesia masuk bertumbuh 4,7%. Namun, pada kuartal II dan III, laju pertumbuhan ekonomi diprediksi turun ke 1,1% dan 1,3%. Belum sampai minus. Sedang pada kuartal IV, ekonomi kembali menanjak dengan pertumbuhan 2,4%.

Skenario berat ini dibuat dengan asumsi puncak Covid-19 akhir Mei. Namun, jika penanganan Covid-19 tidak sungguh-sungguh dan puncaknya bergeser, skenario sangat berat yang akan terjadi. Berbagai studi menyebutkan, puncak Covid terjadi akhir Juni bahkan Juli. Ini berarti, dana stimulus harus ditambah. Bisa jadi dana stimulus nantinya mencapai Rp 1.600 triliun atau 10% dari PDB.

Masih ada ruang bagi stimulus ekonomi. Dalam tiga bulan pertama 2020, laju inflasi hanya 0,76% dan Maret 2020 terhadap Maret 2019 year on year sebesar 2,96%.

Dalam situasi daya beli menurun, inflasi tak mungkin melonjak seperti tahun 1998. Tahun ini, inflasi tidak akan menembus 5% meski stimulus ekonomi ditambah hingga Rp 1.600 triliun. (BERITASATU)