Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Kolase foto aktivis pegiat HAM dari Papua, Natalius Pigai dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono

Kolase foto aktivis pegiat HAM dari Papua, Natalius Pigai dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono

Sebut Panglima TNI Penjahat Perang, Natalius Pigai Terindikasi Terpapar TPNPB OPM

portalnawacita.com – Keputusan panglima TNI, Laksamana Yudo Margono untuk menaikkan status menjadi siaga tempur di sejumlah wilayah rawan Papua masih menjadi perdebatan bagi sebagian pihak. Antara yang mendukung dengan yang menolak saling berargumentasi meski penjelasan telah berulang kali disampaikan pihak TNI melalui Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen), Laksamana Muda Julius Widjojono berkaitan dengan detail dari penerapan status siaga tempur tersebut. Terbaru, aktivis pegiat HAM dari Papua, Natalius Pigai mengkritisi pernyataan Panglima TNI yang menyebut adanya penduduk sipil binaan yang menyerang TNI di Papua Pegunungan. Menurutnya, pernyataan tersebut merupakan peluang sasar penduduk sipil yakni memenuhi unsur mens rea sebagai penjata perang dalam konteks hukum humaniter dan HAM.

Dirinya menilai bahwa tidak masalah jika yang berseteru dipastikan hanya melibatkan Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua dan pihak TNI. Namun kalimat yang disampaikan Panglima TNI telah membahayakan keselamatan warga sipil, Dirinya lantas mendorong dialog damai tetap menjadi solusi terbaik dalam upaya penyelamatan Pilot Pesawat Susi Air. Peningkatan status menjadi operasi siaga tempur dikhawatirkan akan menimbulkan korban jiwa dari penduduk sipil.

Trik Licik OPM Manfaatkan Masyarakat Sipil untuk Kelabui Prajurit TNI

Standar ganda bagi seorang Natalius Pigai ketika dirinya mengkritik kebijakan Panglima TNI namun tidak melihat realita yang terjadi. Diketahui bahwa Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) telah bertindak licik dengan mamanfaatkan ibu-ibu dan anak-anak saat berupaya menyerang prajurit TNI yang akan mendatangi lokasi penyanderaan pilot Susi Air. Bahkan dikabarkan terdapat warga sipil yang menjadi korban atas adanya kontak tembak tersebut. Sudah barang tentu, OPM menyalahkan aparat TNI dalam kasus ini, padahal yang dengan sengaja melibatkan masyarakat adalah mereka sendiri. Sejumlah penduduk sengaja dibina untuk menyerang aparat. Hal tersebut apakah diketahui oleh Natalius Pigai, atau justru menutup mata mendiamkan perilaku licik TPNPB OPM. Seyogyanya, menjadi aktivis HAM haruslah bersikap objektif melihat sebuah kejadian dari berbagai sudut, bukan berdiri di satu kubu lantas menyalahkan pihak lain tanpa melihat konteks. Atau jangan-jangan, Natalius Pigai merupakan bagian dari aktivis HAM milik OPM.

Di sisi lain, Tokoh Muda Papua, Ali Kabiay secara tegas menyatakan bahwa TPNPB OPM dan kroni-kroninya sebagai teroris menyusul sejumlah tindakan biadabnya beberapa waktu terakhir. Penyebutan teroris bukan tanpa dasar, pola mereka merusak fasilitas umum, termasuk membakar sekolah masuk dalam kategori kelompok teroris. Untuk itu, narasi-narasi yang dibangun oleh para elite yang sangat mencintai Indonesia haruslah diubah dengan sebutan Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua, karena sudah tidak bisa lagi diklategorikan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Dirinya percaya bahwa TNI atau pihak keamanan memiliki strategi tertentu untuk mengatasi kelompok teroris tersebut.

Klarifikasi TNI atas Tudingan Sebby Sambom Soal Kontak Tembak

Pasca kejadian di Mugi Nduga, pihak TPNPB OPM sepertinya masih berupaya untuk terus menyudutkan aparat TNI melalui sejumlah narasi provokatif memanfaatkan unggahan di media. Juru bicara TPNPB OPM, Sebby Sambom menyebut bahwa kontak tembak di Nduga lalu bukanlah operasi penyelamatan. Sebby menilai bahwa pihak TNI tidak perlu mencari Phillip. Mereka menawarkan diri untuk melakukan negosiasi. Dirinya lantas mendorong Presiden Jokowi untuk mengganti Panglima Yudo Margono karena telah berbohong dengan mengatakan tidak terdapat korban.

Merespon hal tersebut, pihak TNI melakui Kapuspen menegaskan bahwa sejak awal pihaknya berupaya melalui pendekatan persuasif kemanusiaan untuk membebaskan pilot Susi Air. Namun pendekatan tersebut dibalas pihak OPM melalui serangan kepada TNI.  Adanya satgas yang dibentuk selama ini adalah tim yang fokus untuk penyelamatan Pihilip. Satgas sebenarnya sudah meminta pejabat daerah dan kepala suku setempat untuk membantu negoisasi, sehingga berbentuk Soft Approach dan penegakan hukum. Paralel dengan hal tersebut satgas operasi pencarian, lalu diserang. Berdasarkan keterangan dari prajurit yang selamat, terdapat sejumlah ibu-ibu dan anak yang bersama pelaku penyerangan. Diindikasi, upaya penyerangan telah terpola dan terencana, apalagi kontak senjata pertama dilakukan oleh pihak OPM. Julius lantas menduga bahwa permintaan pergantian Panglima karena terdapat kekhawatiran jika strategi dan ketegasan sang Panglima dalam penanganan OPM terus berlanjut, maka posisinya akan semakin sulit.

Panglima TNI secara pribadi memiliki ketegasan yang simple, jelas, dan terukur kepada TPNPB OPM. Yakni, serahkan pilot Susir Air, letakkan senjata dan mari membangun bumi Papua lebih humanis dan sejahtera. Hal tersebut sekaligus juga menjawab sikap dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang sebelumnya mendesak Presiden Jokowi melaksanakan dialog. Padahal upaya negosiasi sejak awal sudah dilakukan, namun justru direspon dengan serangan. Hal ini yang seharusnya harus dipahami oleh koalisi tersebut.

Operasi Siaga Tempur TNI di Papua Legal

Sementara itu, adanya pertanyaan publik berkaitan dengan status operasi siaga tempur TNI di Papua. Dinilai oleh pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studie (ISESS), Khairul Fahmi bahwa penetapan tersebut legal. Sebab, kehadiran TNI termasuk siaga tempur di Papua masih bagian dari perbantuan terhadap tugas Polri dalam koridor Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Penetapan siaga tempur sebagaimana pernyataan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono pada dasarnya tidak membutuhkan kebijakan dan keputusan politik negara. Hal tersebut baru dibutuhkan jika pemerintah berencana mengubah tugas TNI di Papua, dari yang semula OMSP untuk membantu Polri menjadi OMSP guna mengatasi gerakan separatis bersenjata atau pemberontakan bersenjata, dalam hal ini TPNPB OPM.

Pandangan berbeda justru disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR, Sukamta yang meminta pemerintah dalam menyelesaikan rangkaian kekerasan yang dilakukan TPNPB OPM untuk tidak setengah hati, termasuk saat Panglima TNI menaikkan status menjadi siaga tempur, juga tidak boleh setengah-setengah.  Pemerintah bisa menentukan pendekatan apa yang paling tuntas untuk memutus rangkaian kekerasan oleh TPNPB OPM. Hal ini tak bisa lepas dari informasi dan masukan dari tokoh masyarakat lokal.

Maka sekali adanya pernyataan Natalius Pigai jelas bukan yang diharapkan untuk menjadi masukan terhadap pemerintah. Sikap pernyataannya justru memperkeruh situasi dan terlihat sekali condong ke pihak TPNPB OPM. Justru kita lah yang harus waspada terhadap gerak-gerik seorang mantan Komisioner Komnas HAM tersebut.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)