Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Pdt. Socratez Yoman

Pdt. Socratez Yoman

Pendeta Politik Socrates Yoman Perkeruh Situasi Sebut Papua Dianeksasi Indonesia

portalnawacita.com – Jika sebelumnya, sang pendeta Socrates Yoman yang kerap berpolitik ini kerap menuliskan opininya melalui normshedpapua.com. Kini terdapat satu portal media online partisan lagi yang digunakannya untuk memprovokasi publik. Adalah suaraapiperlawanan.com sebuah portal propagandis yang jika dilihat dari konten dan tampilannya mayoritas berisi hal-hal yang berlawanan dengan pemerintah, utamanya berkaitan dengan dukungan terhadap pelepasan Papua dari Indonesia. Terdapat satu opini yang baru saja diunggah oleh Socrates Yoman, berjudul: Papua Dianeksasi dan Diduduki Indonesia. Sebuah tulisan ngawur hanya untuk menunjukkan eksistensi dirinya.

Opini yang jelas-jelas berseberangan dengan pemerintah Indonesia tersebut menjelaskan bahwa peristiwa pembakaran pesawat Susi Air serta penculikan sang pilot di distrik Paro Ndugama pada 7 Februari 2023 lalu merupakan sebuah peristiwa pengulangan yang menuntut perhatian komunitas internasional. TPNPB OPM memanfaatkan insiden tersebut untuk menyuarakan tuntutan penentuan nasib sendiri yang diklaim mewakil rakyat dan bangsa Papua barat.

Socrates Yoman secara spesifik kemudian menyanggah pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD yang pernah menegaskan bahwa NKRI berdasar konstitusi dan berdasar hukum internasional. Papua sah bagian dari NKRI. Menurutnya, Mahfud MD belum mengerti konstitusi negara Indonesia. Baginya, perjuangan Papua barat Merdeka bukan illegal karena dijamin dalam mukadimah UUD 1945. Yaitu, ”Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Sehingga jika diterapkan dalam konteks Papua menjadi “Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak bangsa Papua Barat, dan oleh sebab itu, maka penjajahan Indonesia di atas bangsa Papua harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”

Baginya, persoalan kekerasan, kejahatan kemanusiaan, hingga penyanderaan seperti Pilot Susi Air perlu solusi damai dan bermartabat antara Indonesia dan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral seperti penyelesaian konflik GAM Aceh di Helsinki. Menurutnya, sudah waktunya perundingan tersebut dilakukan agar tidak ada lagi korban dari Penduduk Orang Asli Papua (POAP).

Meneelah Opini Ngawur Socrates Yoman Menyoroti Konstitusi Negara

Sebuah kalimat bijak pernah terngiang bahwa jika tidak menguasai pada bidang tertentu, maka jangan pernah mengeluarkan pernyataan terkait hal tersebut. Kalimat tersebut pada intinya mengingatkan manusia untuk bersikap hati-hati ketika menyatakan sesuatu tanpa melihat dan memahami konteksnya. Agaknya, hal tersebut belum berlaku bagi jalan pikiran seorang Socrates Yoman. Meski berpredikat seorang pendeta, dirinya tak segan menyatakan dirinya condong pada kelompok separatis dan mendukung pelepasan Papua dari Indonesia.

Dengan sikap sok tahunya, ia menganggap seorang mantan ketua mahkamah konstitusi yang kini menjabat Menko Polhukam, Mahfud MD tidak paham mengenai konstitusi negara Indonesia. Baginya perjuangan pelepasan Papua dari Indonesia bukan hal illegal dan dijamin dalam UUD 1945.

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD pernah menegaskan bahwa Papua selamanya menjadi bagian dari NKRI. Pernyataan tersebut juga pernah disampaikan saat membantah adanya deklarasi ULMWP pada Desember 2020 lalu. Dijelaskan bahwa Papua tidak bisa berdiri menjadi negara sendiri. Referendum tahun 1969 sudah final dan sah menjadi bagian dari NKRI disahkan oleh majelis umum PBB bahwa Papua bagian sah di negara Indonesia. PBB tidak mungkin lagi membuat keputusan referendum, Papua juga tidak masuk dalam daftar komite 24 PBB, yakni wilayah yang berpeluang menjadi negara sendiri. Berbeda dengan wilayah Timor Timur yang sejak dulu masuk dalam daftar komite tersebut.

Ditegaskan juga bahwa tidak ada cara bagi Papua untuk memisahkan diri dari NKRI. Untuk diketahui bahwa terdapat dua dasar hukum yang menegaskan pandangan tersebut. Pertama, konstitusi Indonesia yang menyatakan bahwa Papua adalah bagian sah dari Indonesia, dimana tidak adanya alternatif bagi Papua atau siapapun untuk menentukan nasib sendiri dengan referendum atas nama hukum internasional. Kemudian, dasar hukum kedua yakni resolusi PBB nomor 2504 tahun 1969 tentang penerimaan Pepera Papua. Selain itu, setiap negara yang berdaulat atas satu wilayah dapat melakukan semua langkah untuk mempertahankan kedaulatannya atas wilayah dan daerah tersebut dengan segala daya yang dimiliki.

Sejak adanya UU Otsus bagi Papua, pemerintah pusat berkomitmen untuk mempercepat pembangunan di Papua dengan empat prioritas bidang utama, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur. Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan pengamat bidang politik domestik Prof Ikrar Nusa Bhakti bahwa kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) akan membuat semua proses manajemen pemerintahan dan pelayanan publik di Papua menjadi lebih mudah. Dirinya mengapresiasi sejumlah langkah Pemerintah dalam rangka meningkatkan SDM generasi muda Papua. Di antaranya adalah program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) dan Afirmasi Pendidikan tinggi (ADIK). Terbaru adalah program Asrama Mahasiswa Nusantara (AMN) dan pembangunan Papua Youth Creative Hub sebagai sarana kreasi Generasi Muda Papua.

Mengurai Tuduhan adanya Aneksasi Indonesia Terhadap Papua

Kembali kepada pepatah lama, bahwa barang siapa yang bersikap ‘menjual’ maka sekali-kali perlu juga untuk kita ‘membeli’. Dalam konteks tuduhan seorang Socrates Yoman bahwa Indonesia menganeksasi Papua. Maka kita perlu juga untuk mengurainya secara konteks sejarah agar runtut dan gamblang.  

Berdasarkan kumpulan catatan sejarah dijelaskan bahwa Trikora diumumkan oleh mantan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta, dilatarbelakangi oleh keinginan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda saat itu. Dikutip dari buku Explore Sejarah Indonesia Jilid 3, Abdurakhman dan Arif Pradono (2019: 132), dijelaskan bahwa Trikora diambil setelah upaya menyelesaikan masalah Irian Barat melalui jalur diplomasi mengalami kegagalan. Pemerintah Indonesia kemudian menempuh jalur konfrontasi militer. Kemudian pada 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan komando yang disebut Trikora, yang berisi: Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, Kibarkan sang merah putih di Irian Barat, dan Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Setelah perjuangan panjang dan campur tangan Amerika Serikat, akhirnya Indonesia dan Belanda kembali bertemu untuk menempuh jalur diplomasi dalam menyelesaikan masalah Irian Barat. Pada akhirnya dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian New York, dimana bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB. Adanya narasi yang menyebut bahwa Papua Barat bukan bentukan Belanda jelas bersifat ahistoris. Pada 1 Mei 1945, Corinus Krey dan Frans Kaisiepo melahirkan nama ‘Irian’ untuk mengganti istilah ‘Papua’ saat berdiskusi di Jayapura. Istilah tersebut menandakan keinginan mereka menjadikan tanah airnya sebagai bagian Indonesia Raya. Dalam sebuah tulisan sejarah juga disebut bahwa Frans juga menjadi utusan Papua untuk Konferensi Malino, dan membawa istilah Irian sebagai nama pulau besar paling timur. Usaha integrasi Papua berlanjut dalam perjanjian-perjanjian kemerdekaan, termasuk Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.  

Namun dari pihak Belanda menganggap bahwa Papua harus mendapatkan status khusus. Menurunya, wilayah Papua di bidang ekonomi tak mempunyai hubungan khusus dengan Indonesia, sehingga harus di luar Republik Indonesia Serikat (RIS) kala itu. Papua juga disebut hanya memiliki hubungan khusus dengan Kerajaan Belanda, yang akan diperintah sesuai piagam PBB. Mereka menganggap, orang asli Papua secara etnis dan ras berbeda pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Pihak Belanda menginginkan Papua Barat sebagai negara tersendiri di bawah naungannya. Secara nasib pun, masyarakat Papua pada masa sebelumnya tak seperti bangsa Indonesia pada umumnya yang mengalami kerja paksa, penyiksaan, dan kematian saat di bawah Belanda. Mereka cenderung menganggap Belanda bukan penjajah, tetapi penyebar agama dan kemanusiaan.

Terdapat banyak perundingan yang dilakukan pasca KMB untuk membahas Papua, namun semuanya mengalami kebuntuan hingga kemudian berakhir pada perjanjian New York yang mengisyaratkan Indonesia untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Peristiwa tersebut menjadi pintu masuk Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Adanya tuduhan dari seorang Socrates Yoman tersebut jelas langsung terpatahkan karena tak berdasar dan bersifat ahistoris. Apa yang dituliskannya semata adalah bagian dari upayanya untuk mendukung pelepasan Papua dari Indonesia juga mengulur waktu penyanderaan pilot Susi Air yang dilakukan oleh Egianus Kogoya.

Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah masyarakat Papua bahkan telah merespon agar sang pilot segera dibebaskan. Salah satunya datang dari tokoh muda Papua di Jayapura, Nelson Ondi. Dirinya mendesak TPNPB-OPM agar segera melepas Pilot Susi Air Kapten Philip Mark Mehrtens. Menurutnya penculikan pilot Susi Air telah membawa kerugian besar kepada masyarakat Papua. Karena buntut penculikan tersebut, manajemen Susi Air telah menarik semua pesawatnya dari Papua. Padahal, pesawat-pesawat Susi Air selama ini menjadi sarana transportasi udara yang sangat membantu masyarakat Papua mengatasi kondisi terisolasi.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)