Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Tokoh Adat Papua Yanto Eluay

Tokoh Adat Papua Yanto Eluay

Pegiat HAM Papua Jadi Sorotan Sejumlah Pihak Ketika Tak Bersuara Terhadap Aksi Kelompok Separatis

portalnawacita.com – Adanya aksi kekerasan yang hingga kini masih terus dilakukan oleh kelompok separatis Papua telah menimbulkan banyak respon hingga dampak bagi masyarakat khususnya yang tinggal di wilayah-wilayah rawan. Salah satu pihak yang merasa geram terhadap adanya sejumlah aksi tersebut datang dari tokoh adat Papua, Yanto Eluay. Dalam pernyataannya dirinya merasa geram atas adanya sejumlah aksi dari kelompok separatis yang menurutnya telah masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat di Papua. Salah satu indikasinya adalah banyaknya korban yang berjatuhan akibat aksi yang mereka lakukan, baik dari aparat keamanan maupun masyarakat Papua. 

Anak mantan Pejuang Papua Merdeka, Alm Theys Hiyo Eluay tersebut memiliki harapan besar kepara pemerhati HAM di Papua agar tidak tutup mata dalam melihat aksi dari kelompok separatis. Pasalnya yang terjadi selama ini ketika terdapat tindakan tegas dari aparat keamanan sebagai upaya menjaga situasi kamtibmas kemudian justru digoreng sebagai isu pelanggaran HAM. Sebagai contoh, dalam kasus pembantaian di Nduga beberapa waktu lalu, tak ada pemerhati HAM yang bersuara, meski korban jiwa mencapai belasan orang, termasuk juga kasus pembantaian pekerja PT. Istana Karya. Di akhir pernyataannya, dirinya menegaskan kepada para pegiat HAM Papua agar jangan pilih kasih hanya membawa isu pelanggaran HAM untuk dinaikkan ke publik jika orang Papua yang menjadi korban. Padahal semua manusia memilik hak yang sama tanpa harus dibeda-bedakan.

Pegiat HAM Papua Diskriminatif

Keluhan serupa sebenarnya tak hanya muncul dari tokoh adat Papua, sebelumnya kecenderungan sikap pilih kasih yang ditunjukkan oleh para pegiat HAM Papua pernah mendapat sorotan dari akademisi Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung. Menurutnya para aktivis HAM di Papua sangatlah diskriminatif. Mereka hanya berbicara ketika warga lokal menjadi korban kekerasan atau pembunuhan. Sebagai contoh ialah ketika adanya tenaga kesehatan, guru, dan tukang ojek bahkan fasilitas penunjang masyarakat menjadi korban kebrutalan kelompok separatis, namun tidak terdengar suara lantang para aktivis HAM di Papua. Dalam kejadian tersebut, seharusnya para pegiat HAM di Papua berdiri di depan, berbicara dan mengutuk aksi tersebut, namun nyatanya justru diam dan tidak berkomentar. Padahal setiap warga negara yang hidup di Papua memiliki hak yang sama, bukan hanya perlakuan lebih atau istimewa terhadap warga lokal saja.

Terdapat dugaan dari Marinus bahwa para aktivis HAM yang diskriminatif tersebut memiliki dendam tersendiri terhadap aparat keamanan dan negara sehingga setiap tindakan mereka sangat subjektif. Namun, satu hal yang harus diingat bahwa apa pun profesi kita termasuk pembela HAM sekalipun, jika terdapat dendam maka tidak akan bisa bersikap objektif dalam melihat setiap persoalan, hal ini bakal menjadi permasalahan baru di tanah Papua. Untuk diketahui bahwa tahun lalu terdapat tenaga Kesehatan (nakes) di Kabupaten Pegunungan Bintang di Papua yang menjadi korban pembunuhan dan kekerasan oleh Kelompok Separatis. Namun anehnya, para aktivis HAM di Papua justru tidak berkomentar, padahal para nakes tersebut bekerja demi memberikan pelayanan kesehatan kepada para warga lokal. Para aktivis HAM di Papua agaknya telah memiliki pandangan serta tindakan yang sangat subjektif, dengan kata lain tidak bisa objektif dalam melihat persoalan-persoalan di Papua.

Penyanderaan Tak Akan Membuahkan Pengakuan Kemerdekaan

Sementara itu, berkaitan dengan insiden penyanderaan pilot Susi Air yang hingga kini masih terjadi. Dimana terdapat isu bahwa pihak penyandera menginginkan pembebasan sang pilot dengan pengakuan kemerdekaan Papua. Pengamat isu strategis dan global, Imron Cotan memiliki penilaian bahwa pemerintah dipastikan tak akan memenuhi tuntutan tersebut. Dijelaskan bahwa tuntutan tersebut tidak masuk nalar, jikapun dipenuhi hanya akan memunculkan banyak negara merdeka baru sebagai buah dari tindak penyanderaan kelompok tertentu.

Dirinya juga mewaspadai bahwa waktu penyanderaan yang cukup lama bakal berpotensi memunculkan rasa empati dan simpati dari sang pilot kepada kelompok Egianus Kogoya selaku penyandera. Hal tersebut dinamakan sebagai oslo syndrome. Teori tersebut dikembangkan antara lain oleh Kenneth Levin yang menyebut bahwa jika seseorang disandera, lama-kelamaan akan mencintai atau bersimpati kepada yang menyandera. Faktor tersebut juga berpotensi membuat upaya pembebasan menjadi lebih rumit.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto mengatakan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menegaskan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dapat diterapkan terhadap tindak kekerasan kelompok separatis Papua, termasuk penyanderaan pilot Susi Air. Kekerasan tersebut menurutnya telah memenuhi unsur tindak pidana terorisme karena memiliki motif politik, ideologi, gangguan keamanan, dan menciptakan rasa ketakutan luas di tengah masyarakat.

Di sisi lain, hingga kini belum terdapat pernyataan dari pegiat HAM Papua yang muncul di publik menyikapi insiden penyanderaan pilot Susi Air ataupun rentetan kekerasan yang dilakukan kelompok separatis dimana tak sedikit korban berjatuhan hingga hilang nyawa. Lalu dimanakah sikap obyektifmu wahai para aktivis HAM Papua.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)