Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Menjaga Netralitas TNI, Polri, ASN di Pemilu 2024

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia menjaga netralitas dalam Pemilu 2024. Sikap dan perilaku netral harus ditunjukkan agar tidak terjadi permasalahan dalam pemilu yang dapat memengaruhi legitimasi hasil pemilu.

Mahfud menegaskan, kualitas demokrasi ditentukan oleh rakyat bisa menggunakan haknya dengan bebas. Selain itu, prosedur pelaksanaan pemilu juga dilakukan secara benar serta dapat dipertanggungjawabkan. ”Jadi, setiap rantai hubungan institusi dari tingkat bawah ke atas diawasi betul,” kata Mahfud dalam rapat koordinasi nasional sinergisitas pemerintah dalam menjaga stabilitas politik, hukum, dan keamanan untuk menyukseskan Pemilu 2024 di Jakarta, Senin (29/5/2023).

Kegiatan tersebut diikuti oleh Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Hadir juga pejabat TNI dan Polri, Lembaga Ketahanan Nasional, serta perwakilan kementerian dan lembaga.

Mahfud menjelaskan, TNI dan Polri harus menanamkan nilai-nilai netralitas kepada setiap anggotanya dari sejak pendidikan dan harus berkelanjutan. Kualitas demokrasi akan terganggu jika TNI dan Polri terdapat kepentingan dengan partai politik dalam pemilu.

Ia menegaskan, posisi TNI dan Polri adalah untuk kepentingan bangsa dan negara sehingga jangan sampai ada kepentingan partai politik. Sikap dan perilaku netral harus ditunjukkan agar tidak terjadi permasalahan dalam pemilu yang dapat memengaruhi legitimasi masyarakat pada hasil pemilu.

Mahfud mengetahui banyaknya jual-beli suara ketika pemilu berlangsung di tingkat kecamatan. Orang yang suaranya kalah akan menjual kepada orang lain yang perolehan suaranya lebih banyak. Ketika menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pada 2009, Mahfud pernah membatalkan 72 calon anggota legislatif yang terpilih secara sah. Sebab, mereka dilaporkan melakukan kecurangan. TNI dan Polri harus mengawal risiko kecurangan tersebut.

Mahfud juga meminta TNI dan Polri agar bersinergi dalam menjaga pemilu. ”Bapak tidak bisa sendiri-sendiri menjaga pemilu ini. TNI-Polri tentu nanti bahkan bersinergi juga dengan KPU (Komisi Pemilihan Umum), dengan pemerintah juga,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan risiko keamanan di Papua. Apalagi, wilayah Papua sudah dimekarkan yang akan menyebabkan pemilu menjadi lebih rumit. Selain itu, Mahfud juga mengingatkan persoalan hak asasi manusia (HAM). Sebab, isu HAM dapat digunakan sebagai bahan kampanye atau kabar bohong yang dapat memecah belah masyarakat.

Seusai rapat, Yudo menegaskan, dalam menjaga netralitas, maka anggota TNI yang akan mengikuti pemilu harus keluar sesuai dengan ketentuan. Anggota TNI yang melanggar netralitas akan diberi sanksi.

Yudo mengungkapkan, pihaknya juga akan mengantisipasi gangguan-gangguan saat pemilu, seperti di Papua. Ia masih akan melihat perkembangan situasi ke depan untuk menambah pasukan di Papua dalam mengamankan pemilu. ”Yang jelas, tetap kita sepakat untuk menyukseskan pemilu di mana saja. Tidak hanya di wilayah Papua, (tetapi) di seluruh Indonesia,” kata Yudo.

Dihubungi secara terpisah, menurut pengajar pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, TNI dan Polri tidak boleh menunjukkan keberpihakan ataupun dukungan dalam kontestasi Pemilu 2024, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden.

”Bukan hanya harus netral, tetapi juga mutlak imparsial. TNI dan Polri yang menurut undang-undang tidak menggunakan hak pilih mengandung pesan dua institusi ini harus berdiri di atas kepentingan yang lebih besar, yaitu persatuan dan kesatuan bangsa dan negara,” kata Titi.

Ia menuturkan, banyak godaan untuk melibatkan TNI dan Polri karena pengaruh mereka di tengah masyarakat. Beberapa bentuk ketidaknetralan yang terjadi, misalnya, pengerahan anggota keluarga TNI dan Polri untuk memenangkan salah satu peserta pemilu. Selain itu, keterlibatan aktif dalam mendukung calon dan secara terbuka mengarahkan masyarakat untuk memilih calon tertentu. Bahkan, ada beberapa oknum yang melakukan intimidasi untuk kepentingan salah satu calon.

Oleh karena itu, kata Titi, kesadaran TNI dan Polri untuk netral, imparsial, serta profesional di Pemilu 2024 adalah keniscayaan. Apalagi, kepercayaan publik cukup baik. Tendensi ketidaknetralan akan memicu polarisasi disintegratif yang semakin buruk di tengah masyarakat.

Ia menambahkan, ketidaknetralan juga bisa memicu konflik antarpendukung sehingga bisa dibawa sebagai materi perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi untuk mempersoalkan hasil pemilu. Akibatnya, kredibilitas dan legitimasi pemilu jadi taruhannya.