Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Aktivis Papua Natalius Pigai

Aktivis Papua Natalius Pigai

Mempertanyakan Intelektual Natalius Pigai, Tuduh Pengiriman Pasukan TNI Ke Papua Sebagai Rasialisme

portalnawacita.com – Adanya kebijakan pengiriman prajurit TNI ke sejumlah wilayah rawan di Papua mendatangkan respon dari publik. Tak hanya yang bersikap mendukung demi keamanan dan ketentraman masyarakat Papua dari aksi gangguan keamanan kelompok separatis, namun juga terdapat sikap mempertanyakan kebijakan tersebut hubungannya dengan dampak terhadap masyarakat Papua. Salah satunya datang dari mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai. Dirinya menilai bahwa pengiriman pasukan di tiga Kabupaten Papua, yakni Paniai, Deiyai, dan Dogiyai adalah bukti adanya operasi militer Indonesia di Papua. Padahal, menurutnya PBB telah melarang adanya operasi militer dalam negeri. Dirinya lantas mendesak PBB, USA, dan dunia untuk melakukan dialog damai di Papua sebelum menjadi area pembantaian atas nama rasialisme.

Sebelumnya, hal senada juga disampaikan oleh Front Mahasiswa dan Rakyat Peduli Papua (FMRP) dalam sebuah aksi mimbar bebas yang mendesak pemerintah pusat agar segera menarik kembali pasukan militer organik dan non organik dari seluruh teritorial di tanah Papua. Salah satu peserta aksi, Venus Kabab mengungkapkan bahwa di Papua selalu tak luput dari konflik berdarah karena pemerintah terus menerus menerapkan pendekatan keamanan. Selama bersama Indonesia, orang Papua akan selalu hidup dalam penindasan. Karena itu, menurutnya, referendum Papua merupakan solusi terbaik untuk mengakhiri semua ketidakadilan dan penindasan yang menimpa orang Papua. Usut punya usut, ternyata FMRP merupakan kelompok yang berafiliasi dengan KNPB. Pantas saja kemudian bersikap tidak nyaman terhadap adanya penambahan aparat di Papua.

Isu Rasialisme yang Terus Diangkat untuk Sudutkan Pemerintah Indonesia

Jika ditinjau secara definisi, rasialisme hampir dekat dengan istilah rasisme. Meskipun keduanya berhubungan dengan pandangan dan tindakan terhadap perbedaan ras, namun memiliki makna berbeda. Rasisme mengacu pada keyakinan bahwa satu ras tertentu lebih baik atau lebih unggul daripada ras lainnya. Rasisme bersifat individual atau sistemik. Sementara itu, rasialisme adalah pandangan atau praktek yang mempertimbangkan perbedaan ras sebagai faktor penting dalam interaksi sosial, politik atau budaya. Dalam beberapa kasus, istilah “rasialisme” dapat digunakan sebagai sinonim untuk “rasisme”. Namun, secara umum, rasisme menunjukkan tindakan atau pandangan yang merugikan suatu ras, sedangkan rasialisme lebih luas dan dapat merujuk pada pandangan atau praktik yang lebih netral atau positif, tetapi tetap mempertimbangkan perbedaan ras.

Dalam konteks Papua, isu rasisme pernah menjadi pembahasan secara mendalam pasca letupan terjadinya kerusuhan pada tahun 2019 lalu. Isu rasisme yang didukung dengan kecepatan informasi melalui media sosial ataupun media online mampu menjadi sumbu atau pemantik sikap emosional yang jauh dari pikiran rasional maupun pertimbangan logika. Semakin kesini, melalui isu rasisme pula sejumlah pihak yang menginginkan referendum seperti mendapat dukungan untuk terus mempengaruhi publik. Salah satunya dari pihak Aliansi Mahaiswa Papua (AMP), sebagai kelompok yang berisikan kaum intelektual mahasiswa yang justru terbukti berafiliasi dengan kelompok separatis seperti KNPB untuk turut serta menambahkan poin tuntutan ‘pesanan’ yakni permintaan referendum dalam setiap aksi.

Dalam gerakannya. AMP juga berafiliasi dengan kelompok lain seperti organisasi Petisi Rakyat Papua (PRP) yang dalam beberapa kali unggahannya di media sosial terlebih dahulu menyinggung isu rasisme menggunakan peristiwa di tahun 2019 untuk kembali diangkat publik. PRP merupakan salah satu kelompok yang selama setahun terakhir kerap menunjukkan eksistensi dengan mengkooordinir aksi penolakan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, seperti Otonomi khusus dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). PRP juga diketahui memiliki hubungan dengan KNPB sebagai salah satu front politik dari kelompok separatis dengan misi lepas dari Indonesia.

Kini, isu rasisme tersebut seperti sedang coba ‘dikembangkan’ oleh Natalius Pigai menjadi isu rasialisme dengan merespon kebijakan pemerintah saat mengirimkan pasukan TNI ke sejumlah wilayah rawan di Papua.

Mewaspadai Provokasi Berulang Seorang Natalius Pigai

Sebagai seseorang yang memiliki pandangan luas, utamanya berkaitan dengan HAM dan politik di Papua. Sudah seharusnya Natalius Pigai berpikir ulang ketika menyampaikan pendapat, terlebih terhadap isu sensitif. Namun kenyataan tak demikian, dalam beberapa momentum dirinya bahkan seperti sengaja menyiram bensin pada isu yang mudah terbakar. Jika dilihat secara track record, bukan kali pertama ini Natalius Pigai memprovokasi publik memanfaatkan media sosial maupun pemberitaan di media online khususnya perihal isu Papua. Sejumlah kasus pernah menimpa dirinya berkaitan dengan pernyataan provokatifnya di publik. Bulan Oktober 2021, Ia pernah menulis di media sosial twitter ‘jangan percaya orang Jawa Tengah Jokowi dan Ganjar’, Natalius menyebut kedua orang tersebut telah merampok kekayaan Papua hingga menginjak harga diri Papua dengan kata bernada rasis. Buntut dari tulisan tersebut dirinya kemudian dilaporkan oleh Barisan Relawan Nusantara (BaraNusa) dengan tuduhan ujaran rasisme dan kebencian.

Seorang Natalius Pigai juga pernah berkomentar terkait pemekaran wilayah Papua. Dirinya menyatakan tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Jika tetap dilaksanakan maka masyarakat Papua akan membeli senjata dan bom untuk melakukan perlawanan. Sebuah ancaman hiperbolis yang hingga kini tidak terbukti kebenarannya. Pernyataan dirinya tersebut lantas mendapat respon dari Ketua Relawan Jokowi Mania, Emmanuel Ebnezer disebut memicu konflik horizontal yang dapat mengancam keamanan negara.

Pada bulan Agustus 2022 lalu, Natailus Pigai juga ikut berkomentar saat terjadi penembakan terhadap empat orang warga Kabupaten Nduga di Mimika yang melibatkan oknum anggota TNI. Dengan lantang, ia mengancam presiden Jokowi untuk angkat bicara dalam kasus tersebut. Menurutnya, pembunuhan yang melibatkan lebih dari lima orang tidak mungkin tanpa komando. Menjadi hal yang disesalkan seorang Natalius Pigai justru membuat suatu pernyataan ancaman yang provokatif. Sebagai seorang tokoh atau aktivis, dirinya harusnya paham melihat kondisi, situasi serta kecenderungan masyarakat Papua dalam merespon suatu kejadian. Secara jejak digital, Natalius Pigai memang kerap mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi. Dirinya juga pernah melontarkan pendapat bahwa kunjungan Presiden Jokowi ke Papua tidak ada manfaatnya bagi masyarakat di wilayah tersebut. Terlepas dari kontroversi-kontroversi tersebut, hal penting yang perlu diperhatikan adalah motif dibalik setiap kritikan Natalius. Sebagai seorang aktivis kemanusiaan, tentu motif yang diharapkan juga berasal dari kerisauan dirinya atas ketidakadilan yang dialami masyarakat. Bukan sebuah kepentingan yang mengatasnamakan keresahan masyarakat.

Imbauan Kepada Masyarakat agar Selektif dan Bijak Menerima Informasi

Perlu diketahui bahwa kebijakan pengiriman pasukan TNI ke sejumlah wilayah rawan merupakan respon pemerintah untuk memberi perlindungan masyarakat Papua dari gangguan kelompok separatis yang belakangan ini semakin intens. Aparat diterjunkan agar masyarakat Papua nyaman dalam beraktivitas. Kehadiran aparat disebut aktif membantu meringankan berbagai kesulitan. Ketika terdapat operasi penangkapan anggota kelompok separatis, masyarakat dipastikan mendukung penuh langkah tersebut demi keamanan, kedamaian, serta kemajuan Papua.

Narasi yang tergolong provokatif seperti Natalius Pigai diyakini masih terjadi dalam unggahan di media sosial maupun narasi media online. Sudah seharusnya sebagai masyarakat mampu bersikap bijak dan kritis dalam menanggapi rentetan informasi yang beredar sangat cepat namun kadang lambat dalam verifikasi kebenarannya. Sebuah tindakan kebablasan bagi seorang Natalius Pigai. Penilaian bahwa pengiriman pasukan TNI ke Papua merupakan upaya pembantaian atas nama rasialisme di era modern adalah sebuah hal bodoh yang tak dipikirkan konsekuensi yang terjadi. Padahal faktanya, masyarakat Papua membutuhkan perlindungan dari adanya aksi penyerangan kelompok separatis Papua di sejumlah wilayah.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)