Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Hasil Survei LIPI, Partisipasi Masyarakat di PSBB Dinilai Rendah

PortalNawacita – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama sejumlah pihak kembali menggelar survei terkait Covid-19. Kali ini mereka melakukan survei tentang pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dalam survei itu terungkap bahwa partisipasi masyarakat dinilai kurang dalam mendukung penerapan PSBB.

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Rusli Cahyadi mengatakan survei online itu dilakukan pada 3-12 Mei lalu. Dengan total valid responden sebanyak 919 orang. Dengan rentang usia 15 tahun ke atas dan tersebar di wilayah PSBB DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

’’Menurut responden, ketidakberhasilan pelaksanaan PSBB dipicu oleh kurangnya partisipasi masyarakat,’’ kata Rusli kemarin. Dari hasil survei tersebut ditemukan bahwa 64 persen responden menilai bahwa pemicu ketidakberhasilan PSBB adalah minimnya partisipasi masyarakat. Faktor lain yang memicu ketidakberhasilan PSBB adalah penegakan hukum, sosialisasi kurang, serta kurang jelas informasi apa saja yang dilakukan selama PSBB.

Dari hasil survei tersebut menyebutkan 69 persen responden menilai kebijakan PSBB berhasil di beberapa wilayah. Namun mereka menilai di wilayah lainnya tidak berhasil. Hanya ada delapan persen responden yang menilai PSBB berhasil sepenuhnya.

Rusli menambahkan responden menilai PSBB telah memberikan dampak negatif. Diantaranya adalah semakin mahalnya biaya untuk kebutuhan komunikasi dan internet. Dampak negatif lainnya adalah berkurangnya layanan kesehatan, kesulitan transportasi, dan kesulitan memperoleh bahan makanan. ’’Meski demikian 57,5 persen responden mengatakan pandemic memberikan dampak positif,’’ katanya. Yaitu semakin eratnya hubungan kekeluargaan.

Berdasarkan survei tersebut, Rusli mengatakan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kegiatan sosialisasi PSBB. Kemudian sistem pendataan penerima bantuan yang lebih akurat serta didasari data faktual. Lalu meningkatkan penyediaan layanan dasar selama PSBB dan memberikan denda atau hukuman bagi para pelanggar aturan PSBB.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA memaparkan terjadinya pergeseran bentuk kecemasan. Semula kecemasan Virus Korona menjadi histeria dunia. Tapi kini publik lebih cemas oleh kesulitan ekonomi. Bahkan, kecemasan ancaman kesulitan ekonomi melampaui kecemasan terpapar Covid1-9.

Riset yang dilakukan minggu kedua Juni itu menggunakan analisis data sekunder dari berbagai sumber, baik dari dalam maupun luar negeri. Rully Akbar, peneliti LSI Denny JA mengatakan, ada tiga sumber data yang digunakan. Yaitu, data Galup Poll, lembaga survei opini publik yang berpusat di Amerika Serikat. Lembaga itu mengukur opini publik di Amerika Serikat mulai minggu kedua  April hingga minggu ketiga Mei 2020.

Terjadi pergeseran kecemasan di negara tersebut . Pada perioden 6-12 April, kecemasan atas virus berada di angka 57 persen. Sementara kecemasan atas kesulitan ekonomi berada di angka 49 persen. Namun, pada 11-17 Mei, angka kecemasan itu sudah bergeser. Kecemasan publik terhadap Covid-19 menurun ke angka 51 persen. “Sementara kecemasan terhadap kesulitan ekonomi naik melampaui kecemasan atas virus di angka 53 persen,” terangnya dalam konferensi pers secara daring (12/6).

Sumber data kedua dari VoxPopuli Center, lembaga opini publik Indonesia. Pada 26 Mei- 1 Juni, lembaga tersebut melakukan survei telepon terhadap 1.200 responden Indonesia yang dipilih secara random. Hasilnya, 25.3 persen publik khawatir terpapar  Virus Korona. Namun, sekitar 67,4 persen responden khawatir kesulitan ekonomi, bahkan takut kelaparan.

Data ketiga adalah riset eksperimental yang dilakukan LSI Denny JA dan Eriyanto pada Maret- Juni. “Itu bukan survei opini publik, tapi riset eksperimental untuk menggali lebih detail kekhawatiran responden,” papar Rully. Total responden berjumlah 240 mahasiswa. Mereka dibagi ke dalam delapan kelompok. Masing masing kelompok terdiri dari 30 responden. Setiap kelompok diberi satu jenis treatment.

Menurut dia, treatment dibedakan antara informasi tinggi rendahnya ancaman. Yaitu, ancaman kesehatan versus ancaman ekonomi. Treatment juga dibedakan antara kemampuan individu, mulai dari mampu menangkal ancaman kesehatan dan ekonomi versus tidak mampu menangkal.

Melalui analisa statistik, kata Rully, diketahui bahwa kekhawatiran terhadap efek virus yang mengancam ekonomi melampaui kekhawatiran efek virus yang mengancam kesehatan. “Responden lebih takut ancaman kesulitan ekonomi dibandingkan terpapar Covid-19,” tegasnya.

Rully mengatakan, riset yang dilakukan lembaganya menemukan lima alasan terkait pergeseran kecemasan. Yaitu, meluasnya berita kisah sukses banyak negara. Banyak media yang memberitakan sejumlah negara yang sudah melampaui puncak pandemi. Virus Korona di negara tersebut relatif bisa dikendalikan, walau vaksin belum ditemukan. Negara yang sering diberitakan sukses adalah Selandia Baru, Jerman, Hongkong dan Korea Selatan.

Alasan Kedua, lanjut Rully, meluasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat pencemaran virus. Social distancing, cuci tangan, dan masker adalah tiga cara paling populer dalam protokol kesehatan. Menurut dia, protokol kesehatan yang efektif juga bisa mengurangi tingkat kecemasan. “Tidak lah benar kita sama sekali tak berdaya menghadapi virus, walau vaksin belum ditemukan,” jelasnya.

Yang Ketiga, terjadi pergeseran kecemasan, karena tabungan ekonomi masyarakat semakin menipis. Semakin lama lockdown, pembatasan sosial, dan ditutupnya aneka dunia usaha, maka semakin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga. Jadi, ketika kecemasan terpapar virus menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meninggi. Hal itu dirasakan masyarakat lapisan menengah bawah, terutama mereka yang bekerja di sektor informal. Bayangan akan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan terasa lebih mengancam dan kongkrit.

Alasan keempat, jumlah warga yang secara kongkrit terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus. Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan jumlah PHK dan yang dirumahkan hingga Juni, sekitar 1,9 juta orang. Sementara, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan, ada 7 juta orang yang kena PHK.

Sedangkan alasan terakhir, yaitu melandainya grafik yang terpapar virus. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari jumlah pekerja yang di-PHK, dan yang mengambil pesangon Jamsostek semakin bertambah tiap bulannya. “Grafik itu ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi,” tandas Rully.[*]

prokal.co