Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Digitalisasi dan Inklusi Keuangan dalammenangani Kemiskinan

Dari data yang tersedia (22 juta, setelah membersihkan data yang tidak relevan), sentimen negatif terkait ekonomi masih didominasi oleh masalah kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil tindakan untuk mengatasi hal ini dengan fokus pada strategi perlindungan sosial untuk kelompok rentan dan strategi yang mencakup aspek inklusi, literasi dan teknologi.

Perekonomian global saat ini sedang mengalami masalah karena naiknya harga energi, perang yang terus berlanjut antara Rusia dan Ukraina, serta kesulitan dalam pemulihan penawaran. Hal ini menyebabkan bank sentral harus mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga yang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan negara-negara besar diprediksi akan menurun pada tahun 2023, yang akan mempengaruhi perekonomian Indonesia dan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok miskin.

Kenaikan angka kemiskinan terjadi dua kali selama periode ekonomi setelah reformasi (1998), yaitu pada tahun 2005-2006 dan 2020. Pada tahun 2005-2006, kenaikan harga beras sebesar 28% menyebabkan kenaikan angka kemiskinan sebesar 2,24%. Pada tahun 2020, kenaikan angka kemiskinan dipicu oleh pandemi COVID-19 yang menyebabkan perputaran kegiatan ekonomi berhenti, yang menyebabkan 12,5 juta penduduk jatuh miskin.

Pengeluaran rumah tangga per kapita turun sebesar -3,1% selama Maret-September 2020, dengan penurunan terbesar terjadi pada kelompok menengah ke atas. Ini diduga karena Paradox of Thrift, dimana kelompok kaya cenderung menabung saat perekonomian turun. Kelompok kelas bawah memiliki penurunan moderat karena bantuan sosial. Dampak ini berbeda dari shock harga beras dan BBM pada 2005-2006, dimana dampak lebih dirasakan oleh kelompok menengah ke bawah dan berkurang seiring naiknya kelas pengeluaran.

Pandemi menunjukkan pentingnya peningkatan kualitas data untuk meminimalisir kesalahan dalam menargetkan bantuan. Prioritas utama adalah meng-update REGSOSEK dan meningkatkan frekuensi pemutakhiran data. Teknik PMT dan CBT dapat digabungkan untuk menurunkan kesalahan target. 2023 mengharuskan pemetaan lebih lanjut untuk meminimalisir risiko kenaikan kemiskinan akibat guncangan eksternal dan fokus pada daerah yang paling rentan dengan menambahkan teknik geographical targeting.

Untuk mencegah pemutusan hubungan kerja yang masif, perlu ada kerja sama yang lebih erat antara pihak pemerintah, seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perindustrian, untuk mengidentifikasi perusahaan yang berisiko melakukannya.

Analisis BPS menunjukkan bahwa tingkat keterhubungan finansial masyarakat miskin masih rendah, hanya 20-21% yang memiliki rekening bank. Simulasi menunjukkan bahwa probabilitas kesalahan dalam penyaluran bantuan akan menurun jika persentase penduduk yang memiliki rekening meningkat. Untuk mengatasi gejolak ekonomi 2023, kunci adalah mendekatkan masyarakat miskin dengan akses di sektor keuangan. Dalam jangka pendek, distribusi menjadi prioritas, sehingga perlu dilakukan cara untuk mengagregasi dan mengidentifikasi sistem penyaluran yang inklusif dan melibatkan berbagai channel, seperti PT POS, Himbara, Pasar, Sekolah, Jaringan Mini Mart, dan Warung Rakyat untuk mendekatkan akses keuangan dan jalur distribusi kepada masyarakat menengah ke bawah.

Mengambil kebijakan yang tepat akan membantu mengatasi masalah kemiskinan saat menghadapi gejolak ekonomi 2023, sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan ekstrem jangka panjang. Pandemi COVID-19 telah menyebabkan usaha-usaha sebelumnya menjadi tidak efektif dan jumlah penduduk miskin meningkat drastis. Tindakan cepat dan tepat seperti meningkatkan literasi masyarakat tentang diversifikasi pangan dan mengokohkan peran program seperti Program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Non-Tunai sangat penting. Kebijakan yang tepat pada 2023 akan menjadi dasar penting untuk kebijakan jangka panjang sebelum jendela bonus demografi ditutup pada 2030.