Portal Nawacita

Bersatu Kita Maju

Cipta Kerja Bawa Indonesia Siap Hadapi Tantangan Global

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker) akhirnya disahkan menjadi Undang-undang. Ketok palu pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2022-2023 di kompleks parlemen.

Namun hingga kini masih terjadi pro dan kontra terkait pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang.

Salah satu suara paling lantang datang dari serikat buruh yang berencana akan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran menolak kehadiran Undang-undang Cipta Kerja tersebut.

Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada(UGM) Yogyakarta, Tadjudin Nur Effendi, mengaku tidak tahu alasan jelas dari serikat buruh menolak kehadiran Undang-undang Cipta Kerja.

Padahal menurutnya aturan baru tersebut justru berniat membuka lapangan kerja seluas-luasnya di Indonesia untuk mengurangi jumlah pengangguran yang terus meningkat.

“Saya tidak tahu alasan jelas mereka apa menolak. Coba mereka suruh pikirkan bagaimana mereka suruh ciptakan lapangan kerja bagi para anak-anak muda yang baru masuk pasar kerja,” ujar Tadjudin dalam pernyataannya, Jumat(31/3/2023).

Tadjudin memang menganggap biasa terjadinya pro dan kontra adanya aturan baru yang lahir. Terlebih lagi mereka yang menolak berasal dari kalangan pekerja atau serikat buruh.

Namun lanjut Tadjudin perlu dipahami bahwa keberadaan Undang-undang Cipta Kerja sebenarnya adalah untuk mengatasi ancaman pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Kata dia setiap tahun ada 2,5 juta pekerja baru masuk pasar kerja.

Karena itu Undang-undang Cipta Kerja sangat dibutuhkan saat ini dengan tujuan memanggil investor dengan menyederhanakan prosedur, perizinan serta tidak ada peraturan yang tumpang tindih.

“Kalau tidak ada UU Cipta Kerja maka mempersulit investasi. Kalau ada investor akan tertartik datang pengurusan surat izin mudah, tidak ada aturan tumpang tindih,” kata Tadjudin.

Dosen Fisip UGM ini juga menjelaskan saat ini Indonesia juga kebagian bonus demografi penduduk, dimana 65 persen angkatan kerja saat ini adalah usia produktif.

Bayangkan, lanjutnya apabila tidak ada lapangan pekerjaan di Indonesia, mereka akan pergi ke luar negeri dan banyak bekerja di sektor informal.

“Kan ini justru menurunkan martabat bangsa, makanya sekarang diupayakan menciptakan lapangan kerja,” kata Tadjudin.

Tadjudin pun memberikan contoh soal hilirisasi industri tambang seperti nikel yang katanya banyak menyerap tenaga kerja lokal.

Hal itu katanya sudah berkontribusi membuka lapangan pekerjaan dan mencegah terjadinya kerusuhan sosial akibat banyaknya pengangguran dan garis kemiskinan.

“Walau memang ada pekerja asing di sana tapi sebenarnya proporsinya lebih banyak lokal 70 persen,” kata dia.